SNPHAR 2024: Separuh Anak Indonesia Usia 13–17 Tahun Alami Kekerasan

- 70% kekerasan anak adalah kekerasan berulang, dengan 3,48% mengalami tiga bentuk sekaligus
- Perlindungan anak adalah kewajiban moral, konstitusional, dan kemanusiaan yang harus direspon segera
- Anak yang menyaksikan kekerasan memiliki risiko lebih tinggi menjadi korban, perlu peran masyarakat untuk mendorong kesetaraan gender dan perlindungan anak
Jakarta, IDN Times - Laporan Analisis Tematik Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Tahun 2024 menunjukkan sebanyak 50,78 persen anak usia 13–17 tahun di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu kekerasan selama hidupnya. Plt. Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Ratna Susianawati mengatakan, dari laporan analisis tematik dari SNPHAR Tahun 2024 yang diluncurkan, ada temuan fakta kekerasan anak adalah fenomena kompleks yang bersumber dari berbagai faktor
"Faktor tersebut meliputi kerentanan individu, dinamika keluarga, kondisi lingkungan sosial, hingga norma masyarakat yang masih permisif terhadap kekerasan dan ketidaksetaraan gender," ujar dia, dikutip Jumat (19/12/2025).
1. Sebanyak 70 persen kekerasan yang dialami anak merupakan kekerasan berulang

Dia menjelaskan, hasil survei mencatat 70 persen kekerasan yang dialami anak merupakan kekerasan berulang. Bahkan, 3,48 persen anak mengalami tiga bentuk kekerasan sekaligus, mulai dari fisik, emosional, dan seksual.
"Dampaknya, terdapat indikasi pada para korban anak bahwa mereka mengalami trauma kompleks dan dampak jangka panjang terhadap kesehatan mental serta perkembangan mereka,” kata dia.
2. Perlindungan anak kewajiban moral, konstitusional, dan kemanusiaan

Dia mengatakan, temuan SNPHAR bukan sekadar kumpulan angka, melainkan representasi dari suara anak-anak Indonesia yang harus segera direspons. Lebih lanjut, ditekankan pula bahwa anak sering kali disakiti oleh orang-orang yang semestinya melindungi dan mencintai mereka. Oleh karenanya, perlindungan anak bukanlah sebuah pilihan, melainkan kewajiban moral, konstitusional, dan kemanusiaan.
3. Anak yang jadi korban karena saksikan kekerasan

Analisis SNPHAR 2024 juga memperlihatkan rangkaian faktor risiko yang bekerja pada berbagai tingkatan. Di tingkat individu, anak-anak yang menyaksikan kekerasan memiliki risiko yang jauh lebih tinggi untuk menjadi korban. Pada tingkat mikrososial yang mencakup relasi anak dengan keluarga, teman, dan sekolah—hubungan yang tidak hangat dengan orang tua dan minimnya dukungan emosional meningkatkan risiko kekerasan secara signifikan.
Di tingkat sosial, lingkungan yang tidak aman, lemahnya kepercayaan pada masyarakat sekitar dan kuatnya norma permisif kekerasan dan diskriminasi gender disebut perbesar risiko kekerasan dalam jangka pendek maupun panjang. Sebaliknya, sikap yang mendukung kesetaraan gender dan penolakan kekerasan terbukti jadi pelindung anak, terutama anak perempuan.
4. Peran masyarakat diperlukan untuk mendorong kesetaraan gender dan perlindungan anak

Kekerasan pada anak adalah isu lintas sektor yang menyentuh ranah hukum, pendidikan, kesehatan, sosial, lingkungan digital, pembangunan daerah, serta relasi keluarga. Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga saja.
"Dalam merespons hal tersebut, pemerintah akan memperkuat platform Satu Data Kekerasan terhadap Anak sebagai instrumen pemantauan terpadu,” kata Ratna.
Ratna turut menekankan pentingnya transformasi norma sosial lewat kampanye yang masif dan berkelanjutan. Lebih lanjut, peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk mendorong kesetaraan gender serta mengupayakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap anak.
“Selain di tingkat pusat, kita juga perlu mendorong penguatan kapasitas di daerah dalam mencegah dan menangani kekerasan. Pengembangan UPTD PPA sebagai layanan terpadu yang juga harus kita dukung melalui penyediaan akses layanan psikososial yang setara bagi seluruh anak. Selain itu, peran institusi pendidikan sebagai ruang aman juga harus digalakan, serta penguatan kompetensi guru sebagai garda terdepan perlindungan anak menjadi agenda besar yang terus dipacu,” kata Ratna.



















