Krisis Iklim Picu Kekerasan Terhadap Perempuan, Kok Bisa?

- Resiliensi perempuan dalam krisis iklim sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup dan kebangkitan dari krisis.
- Krisis iklim dan kekerasan terhadap perempuan memiliki hubungan erat, mempengaruhi sumber makanan, air, polusi, dan kesehatan reproduksi perempuan.
- Dampak krisis iklim dialami lebih berat oleh perempuan akibat kebijakan yang mengakomodasi industri ekstraktif, sehingga pentingnya kebijakan berbasiskan keadilan iklim.
Jakarta, IDN Times - Krisis iklim membawa dampak kerentanan sosial-ekonomi, khususnya pada perempuan dan kelompok rentan di wilayah terdampak perubahan iklim. Salah satunya adalah memicu kekerasan terhadap perempuan. Mulai dari tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan hingga posisi perempuan semakin sulit, karena minimnya perlindungan dalam konteks krisis iklim. Maka perhatian pada resiliensi perempuan dalam krisis iklim sangat dibutuhkan.
“Tanah, sungai, laut, segala sumber daya di dalamnya adalah sumber kehidupan. Saat krisis melanda, resiliensi perempuan menjadi harapan bagi kelangsungan hidup dan kebangkitan dari krisis,” kata Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang dalam Diskusi Publik bertema “Krisis Iklim dan Kekerasan terhadap Perempuan” oleh Indonesia Women’s Rights Fund (IWRF), dikutip Senin (16/12/2024).
1. Perempuan kerap jadi korban berulang

Koordinator Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan (FPL), Siti Mazumah menjelaskan, krisis iklim dan kekerasan pada perempuan punya irisan yang erat. Perempuan kerap kali jadi korban berulang karena krisis iklim yang terjadi, kesulitan dalam mencari sumber makanan, sumber air, polusi hingga berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan.
"Pentingnya cross-cutting isu dan penanganan bersama agar perempuan tidak semakin berdampak," kata dia.
2. Krisis Iklim adalah persoalan struktural imbas kebijakan

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Uli Arta Siagian menjelaskan, krisis Iklim adalah persoalan struktural yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan yang terus mengakomodasi industri ekstraktif. Dia menjelaskan, dampak terbesar dari daya rusak industri ekstraktif dan krisis iklim tersebut dialami lebih berat oleh perempuan.
Padahal di banyak tempat, justru perempuan menjadi aktor utama penjaga iklim, dengan melakukan aksi-aksi adaptasi dan mitigasi. Sudah saatnya negara melakukan koreksi terhadap kebijakan yang memperparah krisis iklim, dan segera menetapkan kebijakan yang berbasiskan keadilan iklim. Dimana pengakuan dan penghormatan terhadap peran, pengetahuan dan pengalaman perempuan menjadi nilai utama," katanya.
3. Menumbuhkan kebijakan inklusif dan berkelanjutan untuk perempuan

Sementara, Lead of Civic Space Yayasan Penabulu Sugiarto Arif Santoso mengatakan, krisis iklim yang makin memburuk tidak hanya mengancam ekologi, namun turut memperburuk kondisi sosial dan meningkatkan angka kekerasan terhadap perempuan. Maka menurutnya, pentingnya keadilan iklim untuk memberi perlindungan dan dukungan bagi perempuan yang mengalami kasus kekerasan.
"Diharapkan dapat tercipta kebijakan yang lebih inklusif, adil dan berkelanjutan, yang memberi ruang bagi perempuan untuk berperan aktif dalam masa depan yang lebih hijau dan lebih berkeadilan," katanya.