Lingkungan Pendidikan Indonesia Masih Jauh dari Aman dan Inklusif

- Revisi UU Sisdiknas belum sentuh isu keamanan dan toleransi
- Prinsip keadilan dan toleransi baru hidup di atas kertas
- Guru masih anggap kekerasan bagian dari disiplin
Jakarta, IDN Times - Lingkungan pendidikan Indonesia ternyata masih jauh dari kata aman, inklusif, dan toleran. Kenyataan lapangan menunjukkan sistem pendidikan masih gagal melindungi mereka yang tumbuh di dalamnya. Kepala Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP) Kemendikdasmen, Irsyad Zamjani, mengakui kondisi tersebut.
“Kalau kita lihat data rapor pendidikan, meskipun secara umum kondisi sekolah kita, kalau kita lihat dari iklim keamanan, itu relatif aman; tapi sekolah-sekolah yang iklim keamanannya dalam kategori baik itu dari 2022–2024 cenderung menurun," kata dia, dikutip Kamis (30/10/2025).
1. Revisi UU Sisdiknas belum sentuh isu keamanan dan toleransi

Hal ini diungkap saat diskusi publik yang diadakan Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA). Irsyad menambahkan, peningkatan pelaporan bisa jadi menandakan kesadaran yang lebih baik, tapi tetap saja, penurunan kondisi keamanan bukan hal yang bisa diabaikan.
Sementara DPR dan pemerintah sedang sibuk mengutak-atik revisi UU Sisdiknas, diskusi ini mengingatkan undang-undang lama bahkan belum menyebut eksplisit perlunya lingkungan pendidikan yang aman dan toleran.
2. Prinsip keadilan dan toleransi baru hidup di atas kertas

Prinsip demokratis, berkeadilan, dan non-diskriminatif hanya hidup di pasal nilai, bukan di implementasi. Padahal, di tengah maraknya kekerasan di sekolah, absennya aturan yang tegas hanya memperkuat budaya diam dan pembiaran
"Prinsip-prinsip yang relevan dalam penciptaan lingkungan pembelajaran yang aman, setara dan toleran perlu muncul dalam prinsip pengelolaan pendidikan, dan itu bisa dimasukkan ke undang-undang," katanya.
3. Guru masih anggap kekerasan bagian dari disiplin

Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, mengingatkan pentingnya keseimbangan hak dan kewajiban di sekolah. Menurutnya, perlindungan anak bukan sekadar soal menuntut hak, tapi juga tanggung jawab anak menghormati guru.
Namun, pernyataan itu menyoroti masalah yang lebih dalam yakni tanggung jawab moral guru untuk memberi teladan justru sering kalah oleh budaya kekerasan yang diwariskan dari masa lalu.
“Maka jangan memaknai sebuah regulasi sebagai belenggu untuk pendidik, tapi regulasi itu menjadi refleksi agar kita hadir sepenuh hati menjadi inspirasi buat peserta didik kita, sehingga apapun yang kemudian kita lakukan kepada peserta didik, dia juga ikhlas menerima,” ujar Aris.

















