Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Oposisi Menyeberang ke Koalisi, Bagaimana Nasib Pemerintahan Jokowi?

IDN Times/Irfan Fathurohman
IDN Times/Irfan Fathurohman

Jakarta, IDN Times - Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai pihak oposisi diperlukan dalam suatu negara jika ingin membentuk pemerintahan yang kuat. Hal tersebut disampaikan Ujang, mengingat adanya rencana rekonsiliasi secara politik dari pihak oposisi, dalam hal ini Partai Gerindra yang diwakili oleh ketua umumnya Prabowo Subianto.

Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko bahkan menyebut istilah koalisi plus-plus mengenai wacana bergabungnya pihak oposisi. Menurut ujang, jika hal ini terjadi, tidak ada faktor pengontrol pemerintah.

"Tidak adanya keinginan menjadi pihak oposisi karena tidak terlihat adanya keuntungan untuk menduduki posisi tersebut. Menjadi oposisi itu menderita. Oposisi tidak menduduki jabatan apapun di dalam politik. Pihak oposisi saat ini belum siap untuk menghadapi kondisi tersebut," ujar staf khusus Ketua DPR RI tersebut saat dihubungi IDN Times, (27/7).

1. Diperlukan faktor check and balances dalam pemerintahan

IDN Times/Irfan Fathurohman
IDN Times/Irfan Fathurohman

Ujang menilai dalam negara demokratis, harus ada yang faktor yang namanya check and balances atau kekuatan penyeimbang. Menurut Ujang, faktor tersebut yang sebenarnya paling penting. Ketika pemerintah berkuasa menjadi dominan dan mayoritas sedangkan pihak oposisinya lemah, hal tersebut dapat menimbulkan yang namanya penyalahgunaan kewenangan.

“Kekuasaan itu cenderung akan disalahgunakan. Saya akan Jelaskan tesisnya bahwa power tends to corrupt, kekuasaan itu cenderung disalahgunakan atau absolute power corrupt absolutely dari kekuasaan yang mutlak cenderung penyalahgunaannya juga akan besar juga gitu loh akan mutlak pula,” ujar Ujang.

2. Kekosongan oposisi dalam pemerintahan pernah terjadi pada masa Orde Baru

Rekonsiliasi Jokowi-Prabowo pasca-Pilpres 2019. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Rekonsiliasi Jokowi-Prabowo pasca-Pilpres 2019. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Ujang mengatakan Indonesia pernah mengalami kondisi ketika tidak adanya pihak oposisi dalam pemerintahan terutama di legislatif. Dia menyebut pada masa Orde Baru hal itu terjadi, di mana semua partai yang duduk di parlemen mendukung pemerintah. Menurut Ujang, hal tersebut memunculkan kekuasaan yang dominan dalam pengelolaan negara.

“Kekuasaannya dominan, lalu yang terjadi pasti akan disalahgunakan kekuasaan itu. Oleh karena itu sebenarnya pentingnya oposisi di situ. Oposisi itu apa? untuk mengontrol pemerintah ketika pemerintah nya seandainya salah Jalan begitu,” kata Ujang.

3. Ujang menilai jika Gerindra masuk ke dalam koalisi pemerintah akan menimbulkan bahaya

IDN Times/Irfan Fathurohman
IDN Times/Irfan Fathurohman

Selain itu dia mengingatkan, jika Partai Gerindra masuk menjadi bagian pro-pemerintah, pihak oposisi pemerintah yang tersisa hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Hal itu dinilainya akan menimbulkan kondisi bahaya, tidak ada keseimbangan dalam menjalankan sistem pemerintahan.

“Oleh karena itu catatan saya, kita perlu, negara ini perlu pemerintahan yang kuat sekaligus juga oposisi yang tangguh. Kalau hanya menyisakan PKS ya oposisinya lemah, tidak akan sanggup," tutur Ujang menjelaskan perihal adanya rencana Gerindra masuk dalam koalisi pemerintah.

Lebih lanjut dia juga memberi gambaran konstelasi politik di lembaga legislatif, jika oposisi lemah. "Di parlemen pemerintah mayoritas tinggal ketok-ketok palu saja. Nanti kalau ada kebijakan yang tidak berpihak ke rakyat atau salah jalan atau cenderung menggunakan kewenangannya yang "macem-macem" itu, tidak bisa dikontrol oleh partai oposisi,” paparnya.

4. Tak adanya keuntungan sebagai oposisi menyebabkan seluruh partai ingin bergabung ke pemerintah

Dok.IDN Times/Istimewa
Dok.IDN Times/Istimewa

Ujang melihat semua semua partai baik yang mendukung koalisi Jokowi-Ma’ruf maupun pihak oposisi, ingin bergabung dengan pemerintah setelah resminya keputusan pemenang pemilu yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Menurut Ujang, semua pihak ingin menikmati kekuasaan. Dilihat dari konstruksi hari ini, menurutnya, menjadi oposisi itu kurang menguntungkan. Inilah yang menyebabkan semua pihak berusaha berada dalam posisi pro pemerintah.

“Misalkan kejadian 5 tahun hari ini Gerindra lalu kalah di pilpres, pilegnya pun tidak menggembirakan, suaranya hanya naik 3-5 kursi. Artinya kan ini tidak bagus. menjadi oposisi tidak terlalu menguntungkan. Oleh karena itu sekarang mereka bisa jadi ingin berkuasa, ingin punya kedudukan, jabatan, ingin juga membangun kekuatan finansial dengan memegang jabatan-jabatan itu untuk mempersiapkan 2024,” kata Ujang.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us