Greenpeace: Masifnya Bencana Alam Tanda Krisis Iklim Semakin Dekat

- Khalisah Khalid menyampaikan keamanan bukan hanya terkait hak hidup, melainkan juga aman untuk beraktivitas karena hal tersebut berkaitan dengan kualitas hidup sebagai manusia.
- Terdapat beberapa kebijakan ekonomi ekstraktif yang dinilai menjadi penyumbang emisi terbesar diantaranya alih fungsi hutan dan lahan serta energi fosil dan polusi.
- Khalisah juga menyinggung persoalan komitmen pemerintah terkait kebijakan iklim. Beberapa kebijakan ekonomi yang diterapkan sering kali tidak sejalan atau bertolak belakang.
Jakarta, IDN Times - Bencana alam yang terjadi di Indonesia dalam satu tahun terakhir menggambarkan kondisi krisis iklim yang kian dekat.
“Jadi, ini adalah salah satu krisis yang saat ini akan membuat hidup kita tidak aman. Dan bahkan, bukan hanya menanggung kita generasi hari ini, tapi juga akan menanggungi generasi yang akan datang,” kata Public Engagement and Actions Manager Greenpeace Indonesia, Khalisah Khalid, di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (17/9/2025).
Diketahui, sepanjang 2024, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 3.472 bencana alam, di antaranya banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan.
1. Rasa aman bukan hanya terkait hak hidup, tapi juga aman untuk beraktivitas

Khalisah menyampaikan keamanan bukan hanya terkait hak hidup, melainkan juga aman untuk beraktivitas, karena hal tersebut berkaitan dengan kualitas hidup sebagai manusia.
“Aman itu bukan cuma, oke, dari aspek-aspek kecil kita aman, tetapi juga terkait dengan aman dari, selain dari ini, aman berusaha, aman beraktivitas, aman untuk apa namanya, pendidikan, dan sebagainya, yang itu terkait dengan kualitas hidup kita sebagai manusia,” kata dia.
Diketahui, rujukan yang digunakan tentang rasa aman dan hak untuk hidup adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 9 terkait HAM. Salah satu poin yang ditekankan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
2. Krisis iklim adalah akumulasi dari sebuah kegagalan

Sementara, terdapat beberapa kebijakan ekonomi ekstaktif yang dinilai menjadi penyumbang emisi terbesar, di antaranya alih fungsi hutan dan lahan serta energi fosil dan polusi.
“Sudah banyak ya, banyak riset sudah menunjukkan, sebenarnya ekonomi ekstraktif itu ekonomi yang gagal secara ekonomi itu, dan bahkan dia tadi menghasilkan krisis di Gen Z gitu,” kata Khalisah.
Selain itu, Khalisah juga menyampaikan negara Indonesia adalah negara yang rentan, namun menghasilkan emisi yang besar.
“Kita ini adalah negara-negara yang unik ya, satu sisi kita negara yang rentan, tapi di sisi yang lain kita juga itu krisis, negara yang menjadi penyumbang, salah satu penyumbang emisi tertinggi,” kata dia.
3. Komitmen pemerintah terhadap kebijakan iklim belum maksimal

Khalisah juga menyinggung persoalan komitmen pemerintah terkait kebijakan iklim. Dia menilai pemerintah sudah pernah menyampaikan komitmen untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Zero Emission. Namun, beberapa kebijakan ekonomi yang diterapkan sering kali tidak sejalan atau bertolak belakang.
Sementara, kerugian yang didapatkan masyarakat dari kebijakan ekonomi pengelolaan sumber daya alam (SDA) juga tidak pernah dihitung.
“Dalam cerita ekstraktif, itu tidak pernah dihitung, biaya yang harus ditanggung oleh publik, yang harus ditanggung oleh keluarga besar, misalnya penyakit, penyakitan dokter, biaya sendiri, dan sebagainya,” kata Khalisah.