Masyarakat Sipil Indonesia Desak Transparansi Pendanaan Iklim di COP30

- Berbagai elemen masyarakat sipil Indonesia yang hadir dalam Konferensi Para Pihak ke-30 (COP30) di Belém, Brasil, terus mendesak adanya transparansi dan keberpihakan dalam skema pembiayaan iklim global.
- Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia, Paul Butarbutar, menegaskan akuntabilitas adalah kriteria wajib dalam setiap pembiayaan proyek transisi energi.Transparansi pendanaan iklim Indonesia masih rendah.
- Meski pemerintah sudah memiliki BPDLH dan ICCTF sebagai pengelola dana iklim, akses publik terhadap pemanfaatan dana dinilai masih minim.
Jakarta, IDN Times – Berbagai elemen masyarakat sipil Indonesia yang hadir dalam Konferensi Para Pihak ke-30 (COP30) di Belém, Brasil, terus mendesak adanya transparansi dan keberpihakan dalam skema pembiayaan iklim global.
Desakan terutama diarahkan pada pentingnya alokasi dana yang berkeadilan, serta memastikan komunitas adat dan kelompok paling rentan yang selama ini menjadi garda terdepan, mendapat akses dan manfaat ekonomi secara langsung.
Penasehat Utama Menteri untuk Menteri Kehutanan, Edo Mahendra, dalam sesi Scaling Landscape Restoration, menegaskan kembali posisi pemerintah Indonesia untuk mengoptimalkan pembiayaan iklim yang transparan, akuntabel, dan sejalan dengan target global.
“Terbitnya Peraturan Nomor 110 Tahun 2025 adalah komitmen Indonesia membangun pasar karbon berintegritas tinggi, untuk menguatkan daya saing Indonesia baik dari aspek lingkungan, ekonomi, serta sosial,” ujar Edo dalam keterangan, Jumat (21/11/2025).
1. Buka aliran pembiayaan bagi pertumbuhan ekonomi hijau

Edo mengatakan prinsip pasar karbon berintegritas harus membuka aliran pembiayaan bagi pertumbuhan ekonomi hijau, dengan memprioritaskan transisi yang adil dan inklusif.
Ia juga menyampaikan pemerintah telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) antara Kementerian Kehutanan dan Integrity Council for the Voluntary Carbon Market, untuk meningkatkan transparansi dan kredibilitas mekanisme pasar karbon.
2. Akuntabilitas adalah kriteria wajib dalam setiap pembiayaan proyek transisi

Sementara itu, Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia, Paul Butarbutar, menegaskan akuntabilitas adalah kriteria wajib dalam setiap pembiayaan proyek transisi energi.
“Akuntabilitas adalah pondasi dalam kerangka transisi berkeadilan selain hak asasi manusia serta kesetaraan gender dan pemberdayaan,” kata Paul.
Paul menjelaskan JETP Indonesia merupakan upaya pembiayaan transisi energi individu terbesar di dunia hingga saat ini.
"Target bersama Joint Statement JETP adalah memobilisasi total 20 miliar dolar yang terbagi rata antara pembiayaan publik dan swasta dengan perincian 10 miliar dolar dimobilisasi oleh anggota International Partners Group dan sisanya difasilitasi oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero," ujar dia.
3. Transparansi pendanaan iklim Indonesia masih rendah

Dari perspektif lingkungan, Marsya M. Handayani dari ICEL menilai, transparansi pendanaan iklim Indonesia masih rendah.
“Data penerimaan dan penggunaan dana iklim seharusnya dapat diakses dengan mudah dan diupdate secara berkala, paling tidak annually,” ujarnya.
Meski pemerintah sudah memiliki BPDLH dan ICCTF sebagai pengelola dana iklim, akses publik terhadap pemanfaatan dana dinilai masih minim.
Salah satu kritik tajam datang dari Elok F Mutia, Associate Campaign Director Purpose dan inisiator indonesiadicop.id. Mutia menilai diplomasi Indonesia di COP30 belum menunjukkan keberpihakan kuat pada kepentingan masyarakat.
“Indonesia memang aktif selama COP, terutama mengenai perdagangan karbon dan pendanaan iklim, tetapi dua keputusan besar yang sudah diteken di COP30 justru memperlihatkan minimnya keterbukaan,” katanya.


















