Greenpeace Soroti Transparansi dan Konflik Kepentingan di COP30

- Pemerintah belum melibatkan masyarakat adat dalam kebijakan iklim
- Komitmen keadilan iklim yang digaungkan pemerintah hanya akan sebatas ucapan
- Indonesia menyanggupi pemenuhan target emisi nol bersih (net zero emission) 2060
Jakarta, IDN Times – Greenpeace Indonesia menyoroti kontradiksi dalam komitmen iklim yang disampaikan pemerintah Indonesia di Conference of Parties (COP30) di Belem, Brasil hingga 21 November 2025.
Meski pemerintah mengklaim mendorong transisi energi hijau, Greenpeace menilai langkah tersebut tidak dibarengi transparansi dan keberpihakan yang nyata pada masyarakat adat, kelompok yang paling terdampak krisis iklim.
Perwakilan Greenpeace asal Papua, Rosi Yow, menilai bahwa komitmen yang diumumkan pemerintah dalam forum global itu tidak sejalan dengan realitas dukungan yang diberikan kepada industri ekstraktif di dalam negeri. Ia menyoroti fakta bahwa sektor yang selama ini terlibat dalam eksploitasi mineral dan deforestasi justru tampil sebagai sponsor Paviliun Indonesia di COP30.
“Indonesia menyampaikan target transisi energi di pembukaaan COP30, namun di sisi lain industri ekstraktif yang mengambil keuntungan dari eksploitasi mineral dan deforestasi masif menjadi sponsor Paviliun Indonesia selama kegiatan ini,” ujar Rosi dalam keterangan, Senin (17/11/2025).
1. Pemerintah belum melibatkan masyarakat adat dalam kebijakan iklim

Rosi menilai pemerintah belum menunjukkan transparansi yang memadai, terutama dalam melibatkan masyarakat adat dalam penyusunan arah kebijakan iklim.
Padahal kelompok tersebut adalah penjaga hutan dan ekosistem yang paling rentan terkena dampak kebijakan pemerintah, termasuk proyek bioenergi dan program transisi energi yang mengancam ruang hidup mereka.
Menurutnya, kebijakan iklim yang kredibel tidak hanya mengedepankan target transisi energi, tetapi juga memastikan bahwa prosesnya terbuka, adil, dan inklusif.
“Semoga COP30 menghasilkan keputusan yang meyakinkan masyarakat adat untuk dilibatkan karena selama ini mereka tidak mengetahui apa rencana pemerintah," kata Rosi.
2. Komitmen keadilan iklim yang digaungkan pemerintah hanya akan sebatas ucapan

Sementara, Masagus Achmad Fathan Mubina, GIS Analyst Trend Asia menyoroti pernyataan pemerintah terkait dimensi keberpihakan dalam aksi iklim yang adil, inklusif, dan berpusat pada manusia yang masih bias kepentingan.
“Keberpihakan masih dipertanyakan selama komoditas yang menimbulkan konflik seperti fosil dan nikel tidak dikeluarkan dalam skema transisi energi berkeadilan untuk mendukung aksi iklim,” ujar Fathan.
Menurutnya, komitmen keadilan iklim yang digaungkan pemerintah hanya akan sebatas ucapan jika tidak dibarengi upaya perlindungan pada pihak yang terdampak seperti masyarakat adat.
“Proyek-proyek bioenergi yang dijalankan tanpa Persetujuan Atas Dasar Informasi Sejak Awal Tanpa Paksaan menunjukkan belum adanya komitmen perlindungan masyarakat dan ruang hidupnya yang terancam karena kebijakan transisi energi pemerintah,” jelas Fathan.
3. Indonesia menyanggupi pemenuhan target emisi nol bersih (net zero emission) 2060

Sisi Pemerintah Indonesia melalui Utusan Khusus Presiden Bidang Energi dan Perubahan Iklim Hashim Djojohadikusumo menyatakan dukungan Perjanjian Paris, dengan menyanggupi pemenuhan target emisi nol bersih (net zero emission) 2060, disertai target pertumbuhan ekonomi berkelanjutan sebesar 8 persen.
“Strategi pertumbuhan hijau kami tercermin dan terukir dalam dokumen komitmen kontribusi nasional kedua (Second Nationally Determined Contribution atau SNDC), yaitu target 1,2 gigaton setara karbon dioksida pada skenario rendah dan 1,5 gigaton setara karbon dioksida pada skenario tinggi pada tahun 2035,” jelas Hashim.
Hasyim juga menyatakan bahwa tidak ada yang boleh tertinggal dalam transformasi menuju masa depan hijau.
Sebagai wujud komitmen nyata, lanjut Hashim, Presiden Prabowo salah satunya telah mengumumkan alokasi 1,4 juta hektar hutan adat bagi masyarakat adat dan lokal dalam empat tahun ke depan.
“Hal ini merupakan langkah besar menuju keadilan sosial dan ekologis,” ungkapnya.
Di sela COP30, sebagai bentuk inisiatif partisipasi generasi muda untuk aksi iklim, dirinya menyerahkan secara langsung kepada Ketua Delegasi Republik Indonesia di COP30 sebuah dokumen hasil kesepakatan dari ribuan orang muda dari lebih dari 150 negara yang menyerukan perubahan arah kebijakan iklim global menuju transisi energi yang adil, pendanaan tanpa utang, dan keterlibatan bermakna bagi kelompok muda serta masyarakat rentan.


















