Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengarungi Lautan Demi Menyuarakan Pesan Cinta Lingkungan

RELAWAN. Lestari, relawan Greenpeace asal Sumatera Barat yang berkesempatan berlayar selama 3 bulan bersama kapal Rainbow Warrior. Foto oleh Devin Yiulianto/Rappler
RELAWAN. Lestari, relawan Greenpeace asal Sumatera Barat yang berkesempatan berlayar selama 3 bulan bersama kapal Rainbow Warrior. Foto oleh Devin Yiulianto/Rappler

JAKARTA, Indonesia — Meski perawakannya terlihat mungil, namun pergerakan Lestari terlihat gesit. Senyum tak lepas dari wajahnya meski siang itu udara terasa cukup panas di area dermaga Terminal Penumpang Nusantara, Pelabuhan Tanjung Priuk, Jakarta Utara.

Hari itu, di antara kerumunan tamu dan aktivis lingkungan hidup, Rappler bertemu dan berkenalan dengan Lestari, perempuan asal Payakumbuh, Sumatera Barat. Pertemuan kami terjadi di atas kapal Rainbow Warrior milik Greenpeace yang memang selama sepekan bersandar di Jakarta untuk menyuarakan isu-isu seputar lingkungan.

Lestari adalah satu dari 15 orang kru yang menetap di pelayaran kapal Rainbow Warrior kali ini. Selama tiga bulan, Rainbow Warrior akan berlayar di wilayah perairan Asia Tenggara. Tujuannya serupa, untuk mendorong pemerintah setempat untuk tak lupa dengan pentingnya pemeliharaan lingkungan di setiap kota atau negara yang disinggahinya. 

Saat Rappler bertemu Lestari beberapa waktu lalu, ia mengaku sudah berlayar bersama Rainbow Warrior selama sebulan sebelum bersandar di Jakarta.

Passion serupa

Kecintaan pada lingkungan hidup lah yang membuat Lestari bergabung sebagai relawan di Greenpeace sejak tahun 2013 lalu di kampung halamannya, Padang, Sumatera Barat. Setelah beberapa tahun berpartisipasi sebagai relawan, baru kali ini Lestari berkesempatan untuk bergabung dan berlayar di Rainbow Warrior.

"Buat pribadi aku, di sini (Rainbow Warrior) adalah pengalaman berharga karena ini adalah kesempatan yang langka. Di Indonesia belum tentu ada lagi dan belum tahu kapan. Itu jarang-jarang. Jadi kenapa enggak?" ujar Tari, begitu ia akrab disapa.

Selama sebulan pertama berlayar, Tari mengaku banyak belajar. Terutama dari kru kapal lainnya yang berasal dari banyak negara di dunia. Tapi satu yang membuat Tari merasa serasi dan sehati dengan mereka semua. Yaitu kecintaan mereka pada lingkungan. "Passion kami sama, cinta lingkungan," kata Tari.

Sehari-hari, perempuan kelahiran Payakumbuh, 27 Desember 1987 ini giat mengampanyekan isu soal lingkungan bersama Rainbow Warrior. "Selain sebagai relawan, aku juga di sini bantu sebagai deckhand (anak buah kapal). Sekarang salah satu job desc aku adalah sebagai garbologist. Aku memastikan sampah di kapal ini harus dipilah."

Kata Tari lagi, selama berlayar di kapal, seluruh kru maupun tamu dipastikan untuk mengelola sampah dengan benar. Tidak boleh membuang sampah sembarangan. Tak cuma itu, seluruh sampah pun harus dipilah sesuai materinya. "Yang organik langsung dipisah dari non organik. Yang bisa di-recycle juga dipisah," lanjut Tari.

Ia mencontohkan, saat seseorang meminum minuman kaleng misalnya, setelah minuman habis, kaleng dibersihkan, kemudian diremukkan menggunakan alat yang tersedia dan kemudian dimasukkan ke tempat pembuangan sampah sesuai materinya.

"Bukan cuma aku yang melakukan sendiri, tapi aku juga mengingatkan semua orang. Karena di sini sistemnya no passenger ya. Mau kru atau tamu atau siapapun yang datang ke sini, berlaku untuk semua orang. Self service dan bertanggungjawab sama sampahnya sendiri."

Pengelolaan sampah yang baik dan sesuai memang jadi salah satu keunggulan kapal Rainbow Warrior. Karena ini pula, Rainbow Warrior dikenal sebagai salah satu kapal yang ramah lingkungan. 

Perempuan tak dibedakan

Di pelayaran Rainbow Warrior wilayah Asia Tenggar kali ini, Tari bukan satu-satunya warga negara Indonesia yang terlibat. Ada 3 orang lainnya yang juga ikut berlayar. Tapi Tari adalah satu-satunya perempuan dari Indonesia. Berlayar berbulan-bulan dengan kru yang didominasi laki-laki tidak pernah meresahkan Tari. 

"Sekarang ini di kapal total ada 5 orang perempuan, semua dari negara yang berbeda. Ada dari Jerman, Hong Kong dan Taiwan. Tidak ada yang berbeda, sih, kalau soal perlakuan. Soal safety juga, mau perempuan mau laki-laki, untuk tanggungjawab, semua sama. Ada job desc masing-masing," ungkap Tari.

Yang jadi tantangan, kata Tari, justru bukan karena ia perempuan yang berlayar di tengah dominasi kaum pria. Tapi tantangannya adalah untuk mampu beradaptasi dengan banyak orang dengan latar belakang berbeda. "Jujur kalau aku pribadi pertama agak worry, nervous juga. Karena enggak familiar sama orang-orang di sini. Orang-orangnya beda. Tapi ternyata di luar ekspektasi, aku enjoy. Orang-orangnya nice banget dan membantu. Kalau kita bingung pasti dikasih tahu. Tinggal tanya. Kalau pun enggak tanya pasti diingatkan."

Adaptasi itu pasti perlu terjadi dengan cepat. Dan Tari merasakannya sendiri. Tak cuma perlu beradaptasi dengan orang-orang, tapi juga dengan kondisi dan gaya hidup di kapal. "Mabok laut itu pasti. Hari ketiga aku udah mabuk laut, apalagi kalau goyang-goyang. Kalau lagi mabuk laut, tempat yang paling nyaman bagian heli deck. Tinggal keluar dan liat horison, udah. Kalau di dalam karena ruangan tertutup lebih terasa goyang."

Selain itu, Tari juga sempat canggung dengan urusan makanan dan minuman. "Air di sini kan didaur ulang dari air laut. Awalnya memang butuh penyesuaian, tapi sekarang udah biasa aja. Untuk makanan, kebetulan chef kita dari Meksiko jadi western food. Tapi ya enggak apa-apa." 

Mulai dari diri sendiri

Yang dirasakan Tari saat berlayar dengan Rainbow Warrior tak bisa didefinisikannya dengan jelas. Senang dan sedih bercampur aduk di benaknya. Yang membuat senang adalah karena selama pelayaran ia berkesempatan menjajal banyak hal baru dan menyaksikan langsung ragam kekayaan alam dan lingkungan dengan matanya sendiri.

"Mulai ship tour ini kan dari Filipina. Tapi kita masuk Indonesia dari Papua. Jujur aku amazed  banget sama hutan di Papua. Kebetulan pas di sana campaign-nya memang tentang hutan, beda dengan Bali dan Jakarta.  Itu kita dikasih kesempatan naik helikopter bareng untuk menyaksikan hutan secara langsung."

Tapi sisi duka dan tak mengenakkannya juga ada. Karena kesempatan menyaksikan langsung itu, Tari jadi saksi kerusakan hutan di Papua saat ini. "Sedih, ternyata udah kayak begini lingkungannya kita. Selama perjalanan juga banyak lihat sampah di mana-mana. Kalau di Papua hutannya mulai dimasuki industri palm oil gitu. Udah banyak yang dihancurkan," jawab Tari.

Meski kecil, apa yang dilakukannya saat ini menurut Tari adalah bentuk dari kontribusi baiknya sebagai pribadi terhadap lingkungan. "Di sini aku bisa kasih kontribusi dan bergabung sama orang-orang dengan passion yang sama, untuk visi dan misi yang sama. Kenapa enggak? Kalau sendiri aku enggak bisa berbuat banyak. Ketika gabung sama orang yang passion-nya sama, bisa kasih kontribusi lebih besar sama orang-orang. Sekalian bisa kasih pesan ke orang-orang bahwa seperti ini lingkungan tempat kita tinggal sekarang."

Satu pesan Tari pada masyarakat umum, agar semua memulai menjaga dan memlihara lingkungan dari hal-hal yang kecil. "Mungkin mulai dari diri sendiri ya. Bertanggungjawab minimal sampa sampahnya sendiri. Kalau di Indonesia kan belum terlalu aware. Sampah mulai dipilah-pilah. Kamu bertggjawab sama sampahmu sendiri. Mulai kurangi konsumsi plastik. Mulai care. Kalau terlibat di isu yang besar belum bisa, hal-hal yang kecil bisa membantu. Dimulai dari diri sendiri."

—Rappler.com

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yetta Tondang
EditorYetta Tondang
Follow Us

Latest in News

See More

Nadiem Tiba di Kejagung Bareng Hotman, Diperiksa Kasus Chromebook

04 Sep 2025, 09:48 WIBNews