Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Nilai Plus UU TPKS: Atur Rehabilitasi Pelaku Kekerasan Seksual

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Jakarta, IDN Times - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej, menjelaskan bahwa UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) memiliki sifat rehabilitatif. Rehabilitasi tak hanya diberikan kepada korban, tapi juga kepada pelaku kekerasan seksual.

"Karena pelaku kekerasan seksual itukan tidak hanya orang yang dewasa, ada juga pelaku anak-anak," ujarnya dalam webinar UU TPKS: Pencegahan, Penanganan, dan Keadilan untuk Korban di YouTube Rumah Pemilu, Sabtu (30/4/2022).

1. Aspek kepentingan anak itu harus dilindungi

Wamenkumham Edward Omar Syarief Hiariej (ANTARA FOTO/Aprilia Akbar)

Pada kasus aparat penegak hukum berbenturan dengan pelaku kekerasan seksual dengan kategori anak di bawah umur, maka aspek kepentingan anak itu harus dilindungi baik suka maupun tidak suka.

"Sehingga kami masukkan di situ ada rehabilitasi juga," katanya.

2. Keadilan restoratif di UU TPKS

Menteri PPPA Bintang Puspayoga dalam Rapat Paripurna DPR RI saat pengesahan RUU TPKS pada Selasa (12/4/2022). (dok. KemenPPPA)

Dia juga menjelaskan aspek lainnya yang ditonjolkan dalam UU TPKS ini adalah keadilan restoratif atau restorative justice.

"Meskipun ini namanya adalah UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, tetapi aspek pembalasan, aspek keadilan retributif itu bukan merupakan suatu hal yang utama. Ada aspek lain yang kami (Pemerintah) tonjolkan di dalam UU ini, yaitu restorative justice," kata Eddy.

Penerapan keadilan restoratif dalam UU TPKS tersebut terlihat pada orientasi yang memulihkan korban kekerasan seksual.

"Dan pemulihan itu, dia berjalan secara simultan dengan proses hukum. Harus betul-betul korban itu dipastikan, dijamin haknya untuk mendapat pemulihan," kata dia.

3. KUHAP tak bisa akomodasi berbagai kejahatan dimensi baru

ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Dia mengatakan, sempat ada pembahasan permasalahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), terlebih soal ketersediaan alat bukti yang sering jadi masalah dalam penanganan kasus kekerasan seksual selama ini.

"KUHAP kita dibuat 41 tahun yang lalu. Pasti ada dinamika masyarakat yang menyebabkan KUHAP tidak bisa mengakomodasi berbagai kejahatan dimensi baru, termasuk di dalamnya Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE)," jelasnya.

Dalam prosesnya, ada inovasi dan terobosan hukum guna mengatasi permasalahan tersebut melalui UU TPKS.

"Sehingga tidak ada lagi alasan bagi penyidik maupun penuntut umum untuk menolak kasus dengan alasan tidak cukup bukti," katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Lia Hutasoit
EditorLia Hutasoit
Follow Us