Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pakar Siber Jelaskan Konsekuensi Hukum Deepfake Soeharto Saat Pemilu

Teknologi deep fake yang digunakan di pidato Soeharto. (x.com/erwinaksa_id)
Teknologi deep fake yang digunakan di pidato Soeharto. (x.com/erwinaksa_id)

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Umum Partai Golkar Erwin Aksa mengungkapkan strategi partainya untuk menggaet pemilih pada Pemilu, 14 Februari lalu.  Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan menghidupkan kembali sosok Presiden ke-2 RI Soeharto dengan menggunakan teknologi deepfake Artificial Intelligence (AI).

Pakar Riset Siber sekaligus Ketua Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Persadha mengungkapkan, tindakan ini memang punya konsekuensi hukum.

Meskipun UU ITE mengatur beberapa aspek terkait konten online, pada kasus ini, Pratama mengungkap video deepfake Soeharto yang dibuat Golkar tidak melanggar pasal-pasal terkait ujaran kebencian, SARA, atau pencemaran nama baik. 

“Namun pada kasus video hasil deepfake yang diunggah oleh Erwin Aksa tersebut tidak mengandung ujaran kebencian, hasutan terkait isu SARA serta muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik serta pemerasan dan pengancaman,” kata Pratama kepada IDN Times dikutip Senin (3/4/2024).

1. Konsekuensi hukum yang dimaksud

Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Menurut Pratama, ada konsekuensi hukum saat terutama pengunggahan video yang mengandung wajah orang lain tanpa izin melanggar hak cipta atau digunakan untuk tujuan komersial.

“Melakukan pengunggahan video yang mengandung wajah orang lain memang memiliki konsekuensi hukum jika dilakukan tanpa izin oleh orang-orang yang wajahnya ada di dalam video," bebernya.

Dia menjelaskan pada pasal 12 dan pasal 115 UU Hak Cipta dapat digunakan jika video diambil tanpa persetujuan dan digunakan untuk tujuan komersial, dengan ancaman hukuman denda signifikan. 

Selain itu, UU ITE juga memberikan sanksi tergantung pada isi muatan video, termasuk hukuman penjara dan denda untuk kasus pencemaran nama baik, perjudian, dan ancaman kekerasan. Apalagi jika diunggah mengandung muatan berita bohong.

Kemudian, di Pasal 29 UU ITE mengatur jika video yang diunggah mengandung muatan yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti.

2. Konten yang ada bukan untuk tujuan komersial

ilustrasi artificial intelligence (pixabay.com/tungnguyen0905)
ilustrasi artificial intelligence (pixabay.com/tungnguyen0905)

Pratama menjelaskan, konten yang disajikan Golkar dengan menghidupkan kembali Soeharto konteksnya lebih ke arah supaya masyarakat yang menonton bisa memilih wakil rakyat tertentu.

“Isi video lebih kearah ajakan untuk memilih wakil rakyat dari partai tertentu. Tujuan dari pembuatan video juga bukan untuk keperluan komersial,” kata dia.

3. Komunikasi pada sosok yang ada di video

Presiden Soeharto (commons.wikimedia.org/Eric Koch)
Presiden Soeharto (commons.wikimedia.org/Eric Koch)

Pratama juga mengatakan dalam hal ini Erwin Aksa sudah berkomunikasi dengan keluarga mendiang Soeharto. Belum lagi Soeharto adalah seorang kader partai Golkar semasa masih hidupnya, sehingga menurut dia, ini tidak akan jadi masalah jika gambar wajahnya dipergunakan untuk keperluan partai. 

“Erwin Aksa serta tim yang membuat video tersebut mungkin saja juga sudah mengkomunikasikan rencana pembuatan video deepfake tersebut kepada keluarga dari mendiang Presiden Soeharto karena seharusnya Erwin Aksa dan tim sudah mengetahui resiko mengunggah foto dan video menggunakan wajah orang lain,” ujarnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ilyas Listianto Mujib
EditorIlyas Listianto Mujib
Follow Us