Mengenal Deepfake yang Dipakai Golkar Bangkitkan Kenangan Soeharto

Jakarta, IDN Times - Wakil Ketua Umum Partai Golkar Erwin Aksa mengungkapkan strategi partainya untuk menggaet pemilih pada Pemilu, 14 Februari lalu.
Salah satu cara yang dilakukan yakni menghidupkan kembali sosok Presiden ke-2 RI Soeharto dengan menggunakan teknologi deepfake Artificial Intelligence (AI).
Perusahaan keamanan siber Kaspersky menjelaskan deepfake mengacu pada teknologi yang membuat salinan gambar, video, dan suara yang meyakinkan melalui pemanfaatan AI (artificial intelligence atau kecerdasan buatan).
1. Ada 500 ribu konten deepfake dibagikan di media sosial

Penelitian Kaspersky mengungkapkan terdapat permintaan yang signifikan terhadap deepfake. Dalam beberapa kasus, ada kemungkinan ini menargetkan tokoh tertentu seperti selebriti atau tokoh politik. Harga per menit video tersebut berkisar dari USD 300 hingga 20.000 atau Rp 4,7 juta hingga 314 juta.
Setidaknya ada 500.000 video dan audio deepfake yang sudah dibagikan di media sosial pada 2023 menurut DeepMedia yang merupakan perusahaan pengembang alat deteksi media sintetis.
2. Deepfake dan pencurian data identitas pribadi

Sementara, Dosen Teknik Informatika, Fakultas Komunikasi dan Informatika (FKI), Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Endang Wahyu Pamungkas, S.Kom., M.Kom., Ph.D mengatakan ada ancaman dalam penggunaan deepfake. Salah satunya adalah pencurian identitas pribadi masyarakat. Potensi ini berbahaya meningkatkan risiko kejahatan khususnya penipuan dari digital.
“Kalau menurut saya, sih, tantangan terbesarnya pencurian identitas. Dikhawatirkan deepfake dapat disalahgunakan, maka bisa saja muncul kasus penipuan atau kejahatan lainnya karena kita tidak bisa memastikan apakah yang kita tonton itu asli atau palsu,” kata dia dikutip dari situs Universitas Muhammadiyah Surakarta, Rabu (28/2/2024).
3. Perlu regulasi untuk teknologi ini

Endang mengatakan perlu menekankan pentingnya tanggung jawab developer AI dan orang-orang informatika untuk mengusung sisi etika dari teknologi yang dikembangkan.
Penggunaan teknologi AI tak bisa dilarang, karena sudah jadi keniscayaan bahwa teknologi akan semakin berkembang dan canggih. Namun perlu diregulasi penggunaannya.
“AI itu semacam tools. Jadi sama seperti pisau. Tergantung penggunanya. Kalau digunakan dengan baik ya akan bermanfaat. Tapi kalau disalahgunakan ya nanti akan berbahaya,” kata dia.
4. Ada 95.820 video deepfake yang berkeliaran selama 2023

Direktur Pengelolaan Media Kominfo, Nursodik Gunarjo dalam acara Seminar Nasioanl yang bertema 'Kolaborasi Lawan Disinformasi Untuk Pemilu Damai pada Tahun 2024' di Jakarta, Kamis 23 November 2023 menjelaskan ada 95.820 video deepfake yang berkeliaran selama 2023.
“Ini meningkat 550 persen dari 2019 dari selang empat tahun,” kata dia.
Dia mengatakan peningkatan deepfake ini sudah banyak terjadi di luar Indonesia dan semakin terasa. Salah satu yang terjadi juga adalah tersebarnya video deepfake Jokowi dengan bahasa China.
Masyarakat kata dia masih belum paham soal deepfake, tak seperti hoaks yang sudah mulai dimengerti. Perlu adanya kolaborasi, salah satunya perlu ada pendidikan literasi digital pada masyarakat.
“Di level tengahnya ada juga kita harus melakukan hal-hal yang bertugas melakukan pemantauan, monitoring kemudian cek fakta,” katanya.
5. Kominfo pantau perkembangan tata kelola AI global

Sementara, Pemerintah terus melakukan adaptasi terhadap pemanfaatan teknologi kecerdasan artifisial atau Artificial Intelligence (AI). Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria menyatakan Kementerian Kominfo melakukan adaptasi terhadap laju penggunaan AI mengacu pada regulasi atau rancangan peraturan yang diberlakukan di negara maju.
“Kita selalu memantau perkembangan pengaturan AI di tingkat dunia, misalnya di Amerika Presiden Joe Biden mengeluarkan Executive Order untuk pengaturan AI,” jelasnya saat memberikan Keynote Speech dalam Seminar AI dan Transformasi Dunia Komunikasi, di Kantor Pusat Lembaga Penyiaran Publik Televisi Republik Indonesia, Jakarta Pusat, Sabtu (24/2/2024).