PBHI: Publik Keliru Memaknai Putusan MK mengenai UU Kepolisian

- Presiden dan DPR perlu revisi undang-undang kepolisian
- Rangkap jabatan TNI menggunakan pendekatan institusi
- Tim percepatan reformasi kepolisian perlu segera rumuskan definisi tupoksi kepolisian
Jakarta, IDN Times - Perhimpunan Badan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menilai mayoritas publik dan media keliru dalam memaknai putusan nomor 114/PUU-XXIII/2025 mengenai UU nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian yang dibacakan pada Kamis, 13 November 2025. Gugatan yang diajukan oleh pemohon Syamsul Jahidin itu tidak dikabulkan oleh hakim konstitusi.
Tetapi, hakim menyebut larangan bagi Kapolri untuk menempatkan personel kepolisian aktif di instansi sipil. Apalagi bila instansi sipil itu tidak terkait sama sekali dengan tupoksi polisi.
"Poin (penugasan Kapolri bagi personel polisi aktif di instansi sipil) itu kan sudah dihapus atau tidak dibolehkan sejak zaman reformasi 1998. Berdasarkan aturan turunan Peraturan Kapolri tahun 2011 pun, penugasan dari Kapolri (kepada polisi aktif untuk bertugas di instansi sipil) sudah tak boleh lagi. Itu sama saja polisi mengancam lembaga lain agar memberikan pekerjaan ke mereka," ujar Ketua PBHI, Julius Ibrani ketika dihubungi oleh IDN Times melalui telepon pada Sabtu (15/11/2025).
Sementara, hasil uji materiil UU nomor 2 tahun 2002 pasal 28 ayat 3 berisi permintaan hakim konstitusi yang meminta polisi aktif mundur atau pensiun dari jabatan di instansi sipil yang tak ada sangkut pautnya dengan tupoksi kepolisian. "Ketika polisi aktif (menduduki jabatan sipil) yang masih ada sangkut pautnya dengan tupoksi institusi kepolisian, maka dia tetap boleh (rangkap jabatan)," tutur dia.
Maka, anggota kepolisian yang saat ini sedang bertugas di Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hingga Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tak perlu mundur. Sebab, oleh hakim konstitusi keberadaan mereka di tiga institusi tersebut dianggap sesuai dengan tupoksi kepolisian.
"Hakim konstitusi tetap menilai anggota kepolisian di tiga instansi itu tetap ada sangkut pautnya dengan tugas polisi sehingga mereka tak perlu mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Mereka yang bertugas di sana juga tak perlu ada penugasan dari Kapolri," katanya.
1. Presiden dan DPR perlu revisi undang-undang kepolisian

Lebih lanjut, Julius mengatakan kini menjadi tugas dari Presiden Prabowo Subianto dan DPR untuk membuat aturan turunan apa saja tugas pokok dan fungsi (tupoksi) anggota kepolisian. Sehingga, menjadi terang benderang, instansi sipil mana saja yang dapat dimasuki oleh anggota kepolisian aktif. Sayangnya, tupoksi itu tidak disampaikan oleh hakim konstitusi dalam pembacaan putusan pada Kamis lalu.
"Iya dong, sudah pasti harus (dilakukan revisi UU Kepolisian). Pakai pendekatan institusi. Di instansi mana saja yang boleh diisi oleh polisi aktif," katanya.
Artinya, selama belum ada aturan turunan yang jelas mengenai instansi mana saja yang boleh dimasuki oleh anggota kepolisian aktif, maka 4.351 polisi aktif tetap akan rangkap jabatan. "Gak bisa kalau Kapolri yang mendefinisikan apa saja jabatan di luar instansi kepolisian yang boleh dimasuki personel aktif. Karena ini mandat undang-undang, maka yang mendefinisikan adalah presiden dan DPR," tutur dia.
Ketika ditanyakan apakah Irjen Mohammad Iqbal perlu mundur dari kepolisian usai menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Julius meminta agar DPD menjelaskan fungsi dari DPD. "Apakah DPD memiliki fungsi pelayanan masyarakat, keamanan dalam negeri, ketertiban umum dan penegakan hukum atau enggak. Kalau DPD nya menjelaskan mereka punya fungsi pelayanan masyarakat maka sejalan dengan tupoksi polisi. Dia gak perlu mundur," katanya.
Julius mendorong agar dalam pemberian definisi ke depan, turut ditulis bahwa jabatan ASN tak boleh diisi oleh personel kepolisian atau TNI. Namun, hakim konstitusi membuat definisi yang multitafsir.
2. Rangkap jabatan TNI menggunakan pendekatan institusi

Julius juga menyebut salah satu hakim konstitusi Arsul Sani menyampaikan alasan berbeda ketika menolak pengajuan gugatan materiil UU Kepolisian. Arsul sempat menyinggung di dalam tubuh TNI jelas diberikan batasan prajurit TNI aktif boleh rangkap jabatan di instansi sipil mana saja.
"Arsul Sani mengatakan di dalam pertimbangannya, revisi UU TNI yang memperluas institusi sipil di mana bisa ditempatkan anggota TNI aktif, lebih jelas. Sebab, pembatasannya berbasis institusionalitas. Jadi, TNI aktif boleh bertugas di 15 lembaga atau instansi sipil di luar dari itu tidak boleh. Itu jelas," kata Julius.
Sedangkan, di dalam kepolisian, tidak diatur dengan tegas fungsi tertentu ada di dalam lembaga tertentu. "Berarti di TNI berlaku pembatasan berbasis institusional, sedangkan Polri berlaku pembatasan berbasis fungsional. Itu gak konsisten," tutur dia.
3. Tim percepatan reformasi kepolisian perlu segera rumuskan definisi tupoksi kepolisian

PBHI juga mendorong agar putusan MK nomor 114/PUU-XXIII/2025 turut dibahas oleh tim percepatan reformasi kepolisian. Tim yang dipimpin oleh Jimly Asshidiqqie itu perlu segera merumuskan apa saja tupoksi dari personel kepolisian sehingga ada batasan yang jelas di instansi mana saja yang boleh diisi oleh anggota Polri.
"Ini perlu diatur lebih detail mengenai cakupan tupoksi Polri sebagai alat negara, termasuk aturan turunan dari pasal 30 UUD NRI tahun 1945 tentang pertahanan dan keamanan," kata Julius.
Selain itu, katanya, perlu dibuat tafsir lebih kongkret dan detail mengenai tupoksi yang ada sangkut pautnya dan tak ada kaitanya dengan kepolisian. "Sehingga, kita bisa mendefinisikan jabatan-jabatan yang sesuai dengan institusi kepolisian atau yang berada di luar institusi kepolisian," tutur dia.


















