Peneliti Millennials: Eksplotasi Anak Meningkat saat Belajar di Rumah

Jakarta, IDN Times - Anak-anak harus melakukan Pembelajaran Jarak Jauh sejak pandemik COVID-19 melanda dunia, termasuk Indonesia. Namun meningkatnya potensi angka kemiskinan global akibat terhentinya kegiatan ekonomi, berpotensi menjadikan anak-anak sebagai pekerja.
Hal tersebut berbanding lurus dengan penelitian yang dilakukan enam peneliti millennials pendampingan Wahana Visi Indonesia. Para peneliti dari enam kabupaten kota di Indonesia itu, melakukan penelitian untuk mengetahui dampak pandemik COVID-19 yang dialami anak rentan.
Hasilnya, tidak sedikit anak yang rentan mengalami eksploitasi dengan bekerja, bahkan mengalami kekerasan serta perkawinan anak.
1. Peneliti muda berasal dari berbagai daerah

Penelitian ini digawangi oleh perwakilan forum anak dari Bengkayang dan Kubu Raya, Kalimantan Barat; Ende, Timor Tengah Selatan; dan Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur; serta Jakarta Timur.
Penelitian dimulai sejak awal Juni 2020, masing-masing anak mewawancarai teman sebayanya yang menjadi subjek penelitian mereka, melakukan pengamatan langsung, dan melakukan diskusi kelompok kecil di lingkungan tempat tinggalnya.
2. Pekerja anak di jalan rentan kekerasan fisik dan psikis

Peneliti dari Jakarta, Khusnul menemukan fakta pekerja anak meningkat selama Pembelajaran Jarak Jauh diterapkan. Salah satu pekerja anak yang disoroti yakni manusia Silver.
Dia mengungkapkan anak-anak yang bekerja di jalan rentan dengan kekerasan, baik fisik maupun psikis, bahkan juga mengalami pelecehan seksual.
"Kehadiran manusia Silver membuat orang kesal, kadang melontarkan bahasa tidak baik, bahkan ada yang memukul, saat pulang banyak orang tua marah, karena tidak bawa uang. Mereka harus diberi perhatian, jangan hanya diusir tapi diberi bantuan," ucap dia, dalam wawancara daring, Rabu (8/7/2020).
3. Anak-anak di Ende tidak belajar tapi bekerja di kebun

Sedangkan di Kalimantan Barat, peneliti WVI Sherly menyebutkan, tidak semua anak mendapatkan kemewahan pembelajaran jarak jauh yang teratur.
"Banyak guru yang tidak mengajar karena tidak ada fasilitas pendukung, sehingga anak-anak merasa seperti berlibur. Karena aktivitas sekolah yang tidak berjalan lagi," ujar dia.
Kemudian Ivon dari Ende, mendapati adanya anak yang bekerja di kebun padi seharian, selama musim panen.
"Anak-anak usia sembilan tahun ke atas itu dibayar Rp30 ribu sampai Rp50ribu per hari untuk memanen padi. Akibatnya, kegiatan belajar di rumah menjadi terabaikan," ucap dia.
4. Kegiatan belajar mengajar minim, dan membuat anak-anak mengalihkan kesibukannya ke aktivitas lain

Analis Kebijakan Publik WVI, Tira Maya Malino mengungkapkan, dampak COVID-19 yang membuat anak- anak tidak bersekolah secara aktif dan kegiatan belajar mengajar yang minim, membuat anak-anak rentan mengalihkan kesibukannya ke aktivitas lain.
Bagi mereka yang berasal dari keluarga ekonomi lemah, anak-anak berpotensi rentan mengalami eksploitasi dan pekerja anak. UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 dan UU No 13 Tahun 2003, tentang Ketenagakerjaan sudah mengatur bahwa anak-anak di bawah 18 tahun tidak boleh bekerja lebih dari tiga jam per hari atau 15 jam per minggu.
“Bahkan, anak-anak yang ikut membantu orang tua bekerja tidak boleh membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak, apalagi kalau bekerja untuk mencari nafkah," ujar Tira.
"Meskipun pada sebagian besar anak-anak ini bekerja dengan keinginan sendiri karena tidak lagi disibukkan di sekolah, anak-anak tersebut rentan mengalami eksploitasi, hak pendidikan dan bermainnya bisa terabaikan," kata dia.
5. Hasil Penelitian anak-anak sedang diadvokasi melalui wadah Child Led Campaign-Indonesia Joining Forces

Hasil penelitian anak-anak ini sedang diadvokasi melalui wadah Child Led Campaign-Indonesia Joining Forces(CLC-IJF), sebagai Suara Anak Indonesia. Mereka berkoalisi dengan anak-anak dari 12 provinsi lainnya melalui child online platform CLC-IJF.
Mereka juga bekerja sama dengan Forum Anak Nasional, untuk terus mendorong permasalahan yang melanggar pemenuhan hak dan perlindungan anak, melalui rangkaian dialog dengan pemerintah, yaitu Bappenas, Kementerian Pendidikan, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.