Penulisan Ulang Sejarah Mei 1998 Berpotensi Memanipulasi Kebenaran

- Penulisan ulang sejarah Mei 1998 harus disikapi secara kritis
- Komnas Perempuan menjaga upaya pelestarian kebenaran sejarah melalui peringatan Mei 1998
- Fadli Zon digugat atas pernyataannya yang menyangkal perkosaan massal pada Mei 1998
Jakarta, IDN Times – Komisioner Komnas Perempuan, Yuni Asriyanti, menilai polemik penulisan ulang sejarah Tragedi Mei 1998 harus disikapi secara kritis. Dia menegaskan, proyek tersebut tidak dapat dipisahkan dari konteks keadilan transisi yang menuntut pengungkapan kebenaran dan penghormatan terhadap korban.
Menurut Yuni, dalam kerangka keadilan transisi terdapat empat pilar utama, yaitu hak atas kebenaran, hak atas keadilan, reparasi, dan jaminan ketidakberulangan. Ia menyatakan penulisan sejarah seharusnya menjadi alat memperkuat hak atas kebenaran, bukan malah mengaburkannya.
“Penulisan sejarah menjadi satu komponen yang sangat penting yang semestinya bisa digunakan sebagai alat strategis untuk pengungkapan kebenaran. Namun, kita tahu bahwa proyek penulisan sejarah ini, di tengah kontroversi, juga berpotensi besar disalahgunakan atau dimanipulasi,” kata Yuni dalam Talkshow peringatan 27 Tahun Komnas Perempuan, di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu (14/10/2025).
1. Sejarah kekerasan terhadap perempuan agar tak ditulis ulang secara sepihak

Yuni mengatakan, Komnas Perempuan secara konsisten menjaga upaya pelestarian kebenaran sejarah melalui peringatan Mei 1998 dan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk guru sejarah.
Dia menambahkan, momentum tersebut penting untuk memastikan sejarah kekerasan terhadap perempuan tidak ditulis ulang secara sepihak, melainkan menjadi bagian dari proses keadilan yang berpihak pada korban.
2. Penyangkalan itu sejalan dengan proyek penyusunan ulang sejarah

Sebelumnya, Menteri Kebudayaan, Fadli Zon melontarkan pernyataan yang menyangkal perkosaan massal Mei 1998. Dalam wawancara Real Talk by IDN Times pada 10 Juni 2025 dia disebut meragukan kebenaran atau cenderung menyangkal terjadinya perkosaan massal pada Mei 1998.
Penyangkalan tersebut dinilai Yuni, sejalan dengan proyek penyusunan ulang sejarah Indonesia yang dinilai berbagai pihak problematik dan berpotensi menjadi alat rezim penguasa untuk membelokkan sejarah bangsa sesuai kepentingan politik mereka.
3. Fadli Zon digugat atas pernyataanya

Sejumlah individu dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) KontraS menggugat Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada Kamis (11/9/2025). Gugatan diajukan karena Fadli pernah menyangkal secara publik adanya perkosaan massal pada Mei 1998.
Kuasa hukum Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, Jane Rosalina Rumpia, menjelaskan objek gugatan mereka adalah pernyataan Menteri Kebudayaan dalam siaran pers Kementerian Kebudayaan Nomor 151/Sipers/A4/HM.00.005/2025 tanggal 16 Mei 2025. Siaran pers tersebut kemudian disebarkan ke publik melalui akun resmi media sosial Kemenbud dan Fadli Zon pada 16 Juni 2025.
"Siaran pers itu menyatakan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) saat itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid, seperti nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian, atau pelaku. Di sinilah diperlukan kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa. Jangan sampai kita mempermalukan nama bangsa sendiri," ujar Jane.
"Penting untuk berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang problematik," tambahnya.