Tragedi Mei 1998: Peneliti Desak Riset Akademik Kekerasan Seksual

- Peneliti Ruth Indiah Rahayu menekankan pentingnya penelitian akademik untuk membuka kembali tabir kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998.
- Ruth mengkritik minimnya pendekatan ilmiah dalam mengungkap Tragedi Mei 1998, khususnya terkait kasus kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa.
- Ia juga menyoroti minimnya keterlibatan peneliti dan budayawan Tionghoa dalam upaya menggali trauma kolektif yang dialami komunitas mereka pasca Tragedi Mei 1998.
Jakarta, IDN Times - Peneliti Ruth Indiah Rahayu menilai, penelitian akademik menjadi kunci untuk membuka kembali tabir kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998.
.Dia menilai, tanpa ada upaya terobosan ini, pembahasan hingga penyelesaian kasus perkosaan massal 1998 akan macet. Belum lagi harus menghadapi Menteri Kebudayaan, Fadli Zon yang baru-baru ini juga melontarkan pernyataan soal menyangkal perkosaan massal Mei 1998. Dalam wawancara Real Talk by IDN Times pada 10 Juni 2025 dia disebut meragukan kebenaran atau cenderung menyangkal terjadinya perkosaan massal pada Mei 1998.
"Kita cuma akan dihadapkan pada pertanyaan, ada apa enggak sih? Padahal pertanyaan ini enggak penting lagi. Ada apa gak sih korban? Justru ini yang harus kita bantah. Bukan ada atau tidak ada. Tetapi memungkinkan enggak kalian yang diranah elit ini membuka, bukan perdebatan, membuka ruang-ruang agar semua orang nggak harus korban, tapi saksi mampu berbicara tanpa intimidasi," kata dia dalam Talkshow peringatan 27 Tahun Komnas Perempuan, di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu (14/10/2025).
1. Perdebatan hanya akan berputar pada "ada atau tidak"

Dia mengkritik minimnya pendekatan ilmiah dalam mengungkap Tragedi Mei 1998, khususnya terkait kasus kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa. Menurut Ruth, tanpa didukung riset akademik yang kuat, perdebatan publik hanya akan terus berputar pada pertanyaan klise: apakah benar ada korban?
Padahal, kata Ruth, fokus utama seharusnya adalah menciptakan ruang aman bagi para saksi dan penyintas untuk bersuara tanpa rasa takut atau intimidasi.
"Nah, menurut saya, kalau begitu, belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, maka sebenarnya kita perlu mengangkat masalah kekerasan seksual 98 ini ke arah penelitian akademik. Karena itu yang memungkinkan," ujarnya.
2. Pendekatan investigatif dikhawatirkan memicu resistensi

Ruth menyatakan, upaya advokasi terhadap kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998 tetap dapat dilanjutkan. Namun, ia mengingatkan pendekatan investigatif yang dilakukan atas nama gerakan atau aktivisme justru berpotensi menimbulkan resistensi, terutama dari komunitas Tionghoa.
"Pasti akan ada penolakan. Mereka takut," ujar Ruth.
Menurutnya, pendekatan yang terlalu agresif atau terbuka dalam menggali kasus ini bisa membuat komunitas merasa terancam, sehingga menutup diri dari proses pengungkapan kebenaran.
3. Minimnya keterlibatan peneliti dan budayawan Tionghoa

Ruth juga menyoroti minimnya keterlibatan peneliti dan budayawan Tionghoa dalam upaya menggali trauma kolektif yang dialami komunitas mereka pasca Tragedi Mei 1998. Menurutnya, hal ini menimbulkan jarak dalam pembahasan dan penyelesaian kasus kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa.
"Melibatkan peneliti dan budayawan Tionghoa. Saya kira saatnya, termasuk Komnas Perempuan, untuk ke komunitas Tionghoa. Mereka yang peneliti, mereka budayawan, penting. Karena budayawan ini punya kemampuan untuk mengemas problem trauma yang tidak terkatakan menjadi bahasa-bahasa yang sastrawi. Kayak gitu untuk menjadi penting," katanya.
Ruth menyiratkan, keterlibatan budayawan penting agar trauma yang selama ini tersimpan dalam diam dapat diartikulasikan dalam bentuk narasi yang lebih dapat diterima publik, tanpa mengurangi kedalaman emosional maupun konteks sejarahnya.