Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pilkada Dipilih DPRD, Komisi II DPR: Demokrasi Tak Boleh Dimaknai Kaku

Ilustrasi Pilkada (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi Pilkada (IDN Times/Aditya Pratama)
Intinya sih...
  • Pilkada langsung menyebabkan berbagai persoalan struktural, seperti tingginya biaya politik dan praktik transaksional.
  • Evaluasi terhadap mekanisme pilkada bukan pengingkaran demokrasi, melainkan upaya menyelamatkan demokrasi dari insentif buruk yang bersifat sistemik.
  • Pemilihan kepala daerah melalui DPRD dapat menekan biaya politik, menggeser kompetisi ke arena gagasan, dan membebani calon dengan program konkret.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times — Wacana pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD kembali mengemuka dan menuai perdebatan publik. Anggota Komisi II DPR RI Azis Subekti menilai polemik tersebut seharusnya tidak disederhanakan sebagai kemunduran demokrasi, melainkan sebagai upaya mengoreksi sistem agar tetap berpihak pada kepentingan rakyat.

"Wacana ini kerap disederhanakan sebagai tarik-menarik antara demokrasi dan kemunduran politik. Padahal, persoalan sesungguhnya bukan terletak pada romantisme bentuk demokrasi, melainkan pada keberanian membaca realitas dan mengoreksi sistem agar tetap bekerja untuk rakyat," kata dia dalam keterangannya, Rabu (31/12/2025).

Menurut Azis, demokrasi tidak boleh dimaknai secara kaku sebagai sekadar prosedur pemilihan langsung. Ia menegaskan konstitusi Indonesia sejak awal memberikan ruang tafsir terhadap praktik demokrasi yang berkembang sesuai kebutuhan dan tantangan zaman.

“Menjalankan konstitusi bukan soal mempertahankan satu model secara dogmatis, tetapi memastikan nilai kedaulatan rakyat, keadilan, dan kemaslahatan umum benar-benar terwujud dalam praktik,” kata dia.

1. Soroti berbagai persoalan yang muncul akibat pilkada langsung

IMG-20251114-WA0031.jpg
Anggota Komisi II DPR Fraksi Gerindra sekaligus Anggota Pansus Penyelesaian Konflik Agraria DPR, Azis Subekti (dok. Istimewa)

Azis tak memungkiri, pilkada langsung pernah menjadi terobosan penting dalam memperkuat partisipasi rakyat di daerah. Namun, setelah lebih dari dua dekade berjalan, ia menilai berbagai persoalan struktural tidak bisa lagi diabaikan, terutama tingginya biaya politik.

Ia menyebut ongkos politik yang mahal mendorong kompetisi berbasis modal, bukan gagasan dan kapasitas kepemimpinan. Akibatnya, praktik transaksional marak terjadi, baik sebelum maupun sesudah pemilihan.

“Banyak kepala daerah yang akhirnya terjebak kebijakan sarat kepentingan atau bahkan berhadapan dengan persoalan hukum. Ini risiko nyata yang harus kita akui bersama,” ujarnya.

2. Evaluasi terhadap mekanisme pilkada bukan bentuk pengingkaran demokrasi

Warga ke TPS menyalurkan hak suaranya di PSU Pilkada Banjarbaru, Sabtu (19/4/2025). (Hendra/IDN Times)
Warga ke TPS menyalurkan hak suaranya di PSU Pilkada Banjarbaru, Sabtu (19/4/2025). (Hendra/IDN Times)

Dalam kondisi tersebut, Azis menilai demokrasi berisiko kehilangan substansinya. Partisipasi rakyat memang hadir di bilik suara, tetapi keputusan politik kerap ditentukan oleh kekuatan uang dan jejaring kekuasaan. Sengketa pilkada, konflik horizontal, serta polarisasi sosial pun berulang kali terjadi di daerah.

Karena itu, ia menekankan pentingnya memaknai demokrasi secara lebih progresif. Evaluasi terhadap mekanisme pilkada, menurutnya, bukan bentuk pengingkaran demokrasi, melainkan upaya menyelamatkan demokrasi dari insentif buruk yang bersifat sistemik.

Azis mengingatkan, sejarah politik Indonesia menunjukkan koreksi sistem bukan hal tabu. Perubahan mekanisme pemilihan presiden, revisi desain otonomi daerah, hingga penataan ulang kelembagaan negara pernah dilakukan demi efektivitas dan akuntabilitas.

Dalam konteks itu, pemilihan kepala daerah melalui DPRD disebutnya sebagai opsi konstitusional yang layak dipertimbangkan secara rasional. DPRD, kata dia, merupakan lembaga perwakilan rakyat yang bekerja dalam ruang politik yang relatif lebih terawasi.

“Dengan desain yang transparan, uji publik terbuka, pemaparan visi-misi yang terukur, serta pengawasan media, mekanisme ini berpotensi menekan biaya politik dan menggeser kompetisi dari arena uang ke arena gagasan,” kata Azis.

3. Calon kepala daerah dinilai tidak lagi dibebani biaya kampanye yang mahal

Kirab seluruh kepala daerah se Indonesia pemenang Pilkada serentak tahun 2024 usai dilantik Presiden RI Prabowo Subianto (IDN Times/Ervan)
Kirab seluruh kepala daerah se Indonesia pemenang Pilkada serentak tahun 2024 usai dilantik Presiden RI Prabowo Subianto (IDN Times/Ervan)

Ia menambahkan, dengan mekanisme pilkada dipilih oleh DPRD, maka calon kepala daerah tidak lagi dibebani biaya kampanye yang mahal, melainkan dituntut meyakinkan publik dan wakil rakyat melalui program konkret, mulai dari layanan kesehatan, pengelolaan anggaran daerah, hingga penciptaan lapangan kerja.

Meski demikian, Azis mengakui tidak ada sistem yang sepenuhnya bebas dari risiko transaksi. Namun, demokrasi, menurutnya, bukan soal menghapus risiko secara absolut, melainkan memilih desain yang paling rasional dan paling mudah diawasi.

“Yang harus kita jaga adalah substansi demokrasi: kepemimpinan daerah yang stabil, bertanggung jawab, dan berpihak pada rakyat. Perdebatan pilkada seharusnya diarahkan pada sistem mana yang paling jujur dan efektif untuk Indonesia hari ini,” imbuh dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dheri Agriesta
EditorDheri Agriesta
Follow Us

Latest in News

See More

Libur Akhir Tahun, Gibran Temui Warga yang Padati IKN

31 Des 2025, 18:45 WIBNews