Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pro-Kontra Larangan Napi Koruptor 'Nyaleg'

WALK OUT. Ratusan anggota DPR dari empat fraksi yakni F- Gerindra, F-PAN, F-PKS dan F-Demokrat meninggalkan ruang sidang sebelum pengesahan RUU Pemilu pada sidang Paripurna DPR ke-32 masa persidangan V tahun sidang 2016-2017 di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat dini hari, 21 Juli. Foto dokumentasi Rappler

JAKARTA, Indonesia —Meskipun ditentang mayoritas partai politik di Senayan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersikeras untuk menyusun aturan melarang mantan narapidana kasus korupsi atau koruptor maju menjadi anggota legislatif pada Pemilu 2019. Bahkan, Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan, KPU telah menyusun substansi aturan untuk itu. Jika tidak ada aral melintang, peraturan KPU (PKPU) melarang mantan napi koruptor 'nyaleg' diterbitkan dalam waktu dekat.

Langkah KPU tersebut juga disambut positif oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang concern terhadap pemilu dan korupsi. Di dunia maya, warganet ramai-ramai menunjukkan dukungan dengan menandatangani petisi di situs change.org. Kendati demikian, sejumlah pakar tata negara mempertanyakan kewenangan KPU melarang napi koruptor mempergunakan hak mereka untuk dipilih sebagai wakil rakyat. 

Alasan KPU

Maraknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi dan menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi salah satu alasan KPU mengeluarkan terobosan melarang napi kasus korupsi nyaleg. Komisioner KPU Wahyu Setiawan menegaskan, KPU menggunakan payung hukum Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dalam menerbitkan PKPU. 

Dalam UU Pemilu, eks terpidana korupsi memang tidak dilarang maju sebagai caleg. Namun, menurut Wahyu, terpidana kasus korupsi bisa dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime sebagaimana kejahatan narkotika dan kejahatan seksual terhadap anak.

“Kita memahami bahwa dalam UU (Pemilu) yang dimaksud kejahatan luar biasa itu adalah kejahatan seksual terhadap anak dan narkoba. Tetapi kita memandang pula bahwa korupsi itu adalah kejahatan yang daya rusaknya luar biasa. Sehingga KPU memperluas tafsir. Yang semula hanya dua poin, kita perluas dengan satu norma lagi, yaitu korupsi," ujar Wahyu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/4) lalu. 

Dua opsi larangan

KPU menyiapkan dua opsi untuk melarang mantan napi kasus korupsi menjadi caleg. Kedua opsi ini memiliki substansi yang sama, namun berbeda pada redaksional di PKPU. Pada opsi pertama, larangan akan dimasukkan dalam substansi pasal 8 ayat (1) huruf J rancangan PKPU. Pada pasal itu, akan disebutkan secara tegas bahwa ‘bakal calon anggota legislatif (caleg) bukan mantan narapidana kasus korupsi’.

Sedangkan opsi kedua akan diberlakukan pada parpol. Di PKPU, setiap parpol diwajibkan untuk menjalankan rekrutmen caleg secara transparan dan bersih. Dalam hal ini, parpol tidak diperbolehkan mengusung caleg yang terbukti merupakan mantan napi kasus korupsi. 

Senayan menolak

Rencana KPU melarang mantan napi kasus korupsi maju sebagai caleg ditolak Komisi II DPR RI. Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali menegaskan, langkah KPU tersebut bakal menabrak substansi yang termaktub pada pasal 240 UU Pemilu. Disebutkan, mantan napi korupsi  dibolehkan mencalonkan diri dengan syarat telah  lima tahun bebas dari penjara dan keharusan mengumumkan kepada publik sebagai mantan narapidana. 

"Ya, kita kembali pada undang-undang. Jadi memang di undang-undang itu tidak ada larangan. Sebab, kalau kita membuat norma yang tidak diatur dalam UU itu bisa menimbulkan potensi gugatan. Apalagi ada putusan MK (Mahkamah Konstitusi) kan?” kata Amali di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Senin, 16 April lalu.  

Putusan MK  yang dimaksud Amali ialah putusan yang dikeluarkan MK pada 2009 terkait uji materi 3 pasal di UU Pemilu dan UU Pemda. Uji materi diajukan Robertus, eks terpidana kasus pembunuhan di Pagar Alam, Sumatera Selatan. Dalam putusannya, MK memperbolehkan mantan terpidana dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara atau lebih dapat penjadi peserta pemilu. 

LSM dan warganet membela

Menyikapi penolakan DPR, sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih merilis petisi untuk mengumpulkan dukungan publik terhadap langkah KPU melarang mantan napi nyaleg. Petisi tersebut kini sudah ditandatangani oleh lebih dari 40 ribu warganet. Disebutkan dalam petisi tersebut, Koalisi terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Komite Pemantau Legislatif (Kopel) dan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas. 

“Bagi kami, gagasan KPU mengatur ini (larangan mantan napi koruptor untuk nyaleg) adalah sesuatu yang positif, progresif, dan memang jadi aspirasi banyak orang. Jadi, tidak perlu mundur,” ujar Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini.

Kewenangan KPU dipertanyakan

Mantan Ketua MK Mahfud MD mengatakan, KPU tidak berwenang melarang mantan napi koruptor 'nyaleg'. Pasalnya, UU Pemilu memperbolehkan narapidana yang terjerat hukuman di bawah lima tahun masih diperkenankan maju menjadi caleg. Hal yang sama berlaku bagi narapidana korupsi dengan masa hukuman di bawah lima tahun. "Kalau KPU yang melarang itu salah, karena menurut UUD memberikan hak asasi dan mencabutnya harus dengan UU, tidak bisa dengan PKPU," kata Mahfud. 

Senada, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (MenkumHAM) Yasonna Laoly mengatakan, langkah KPU bakal menabrak konstitusi. Karena itu, menurut dia, akan lebih tepat apabila parpol yang menentukan boleh tidaknya mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg. 

"Tentunya setiap partai punya kebijakan untuk tidak memilih sosok yang malah menjatuhkan elektabilitas mereka sendiri. Siapa juga yang mau mencalonkan napi koruptor? Konyol juga partai politik nanti yang mengajukan (caleg mantan napi kasus korupsi). Kan dia butuh suara? Maka, biarkan saja," ujar Yassona kepada juru warta di Gedung Pengayoman, KemenkumHAM, Jakarta, Kamis, 19 April. 

—Rappler.com

 

Share
Topics
Editorial Team
Christian Simbolon
EditorChristian Simbolon
Follow Us