SETARA Sebut KPK Seharusnya Tak Anulir Penetapan Tersangka Kabasarnas

Jakarta, IDN Times - Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi, angkat bicara terkait proses penetapan tersangka Kepala Basarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi dan Letkol Afri Budi Cahyanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hendardi menegaskan, TNI tak seharusnya melakukan intimidasi institusi jika keberatan terhadap sebuah proses hukum.
Sebelumnya, TNI menyatakan keberatan atas penetapan status tersangka Kabasarnas Marsdya TNI Henri Alfiandi (HA) dan Letkol Afri Budi Cahyanto (ABC) oleh KPK terkait kasus dugaan suap proyek di Basarnas. KPK lalu meralat penetapan tersangka itu melalui konferensi pers KPK, Jumat, (28/7/2023).
"Dalih anggota TNI tidak tunduk pada peradilan umum adalah argumen usang yang terus digunakan untuk melindungi oknum yang bermasalah dengan hukum. Jika TNI tidak sepakat dengan langkah KPK, seharusnya menempuh jalur praperadilan bukan intimidasi," ujar Hendardi, lewat keterangan tertulis, di Jakarta, Sabtu (29/7/2023)
1. KPK tak perlu anulir penetapan tersangka

Menurut Hendardi, berdasarkan Pasal 65 Ayat (2) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yuridiksi peradilan militer hanya untuk pidana militer. Sementara jika terlibat pidana umum, anggota TNI harus tunduk pada peradilan umum.
Hendardi menambahkan, penetapan tersangka Kepala Basarnas sesuai kewenangan KPK berdasarkan Pasal 42 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pasal itu berbunyi, setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, ia tunduk pada peradilan umum maupun militer.
"Tidak ada tafsir lain kecuali bahwa KPK seharusnya tidak menganulir penetapan tersangka tersebut," ujar Hendardi.
2. Privilege hukum anggota TNI harus diakhiri

Norma-norma dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer yang mengatur subyek hukum peradilan seharusnya batal karena UU TNI dan UU KPK telah menegaskan sebaliknya, yakni jika anggota TNI melakukan tindakan pidana umum, maka tunduk pada peradilan umum.
"Ketidaksamaan di muka hukum dan privilege hukum bagi anggota TNI harus diakhiri. Selama ini Presiden dan DPR terus gagal atau digagalkan untuk menuntaskan reformasi UU Peradilan Militer," tegas Hendardi.
3. Penganuliran tersangka bentuk kelemahan KPK

Menurut Hendardi, peristiwa klarifikasi dan permintaan maaf atas penetapan tersangka anggota TNI adalah puncak kelemahan KPK dalam menjalankan dan menjaga fungsinya secara independen.
"KPK memilih tunduk pada intimidasi institusi TNI yang bertentangan dengan prinsip kesamaan di muka hukum. Peristiwa ini menunjukan supremasi TNI yang masih teramat kokoh, karena meskipun tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi, korps TNI pasti membela dan KPK melepaskan," sambungnya.
Hendardi menegaskan, peragaan ketidakadilan dalam penegakan hukum harus diakhiri. Menurutnya, Presiden dan DPR tidak bisa membiarkan konflik norma terus menjadi instrumen ketidakadilan yang melembaga.


















