'Please Stand By': Melihat Dunia dari Kacamata Berbeda

JAKARTA, Indonesia —Mulai 1 Mei 2018 mendatang, penikmat film di Tanah Air bisa menyaksikan film terbaru aktris Dakota Fanning yang bertajuk Please Stand By di jaringan bioskop CGV Cinema.
Film berdurasi 93 menit ini digarap oleh sutradara asal Australia Ben Lewin yang sebelumnya dikenal sukses dengan film The Sessions.
Selain Dakota Fanning, beberapa jajaran pemeran di film ini antara lain adalah Alice Eve, Tony Collette dan aktor Patton Oswalt.
Ringkasan cerita
Please Stand By bercerita tentang kehidupan perempuan muda dengan autis bernama Wendy (Dakota Fanning) yang tinggal di sebuah pusat perawatan yang dipimpin oleh Scottie (Tony Collette). Wendy dititipkan di sana oleh kakak perempuannya Audrey (Alice Eve) setelah ibu mereka meninggal dunia dan Audrey hamil anak pertamanya.

Sepanjang hidupnya, Wendy berkompromi dengan autis yang dimilikinya. Setiap hari, ia punya agenda rutin dan runut yang harus dijalani satu demi satu. Bahkan pilihan baju per hari pun sudah disiapkan dan semua tercatat dengan rapi di notebook kecil yang selalu tergantung di lehernya.
Satu yang jadi kekhasan Wendy, ia sangat lihai menulis cerita, terutama terkait segala sesuatu tentang Star Trek yang jadi kegemarannya. Kesempatan emas datang ketika Paramount Pictures diceritakan mengadakan kontes menulis cerita bertema Star Trek.
Wendy pun dengan mudahnya menulis kisah Star Trek dan menghasilkan ratusan halaman dengan cepat. Masalah timbul ketika waktu pengiriman naskah kian dekat sementara tak ada orang di sekeliling Wendy yang bersedia membantunya.
Dengan keterbatasannya, Wendy bertekad lari dari rumah tempatnya bermukim untuk mengantarkan naskah itu langsung ke Los Angeles. Padalah itu bukan hal mudah bagi seorang perempuan dengan autis. Bertualang ke dunia 'nyata' di luar kebiasaan dan rutinitasnya sehari-hari adalah hal yang tak pernah bisa dibayangkan oleh Wendy.
Akankah perjalanan Wendy berakhir manis? Bisakah ia menaklukkan 'dunia' yang selama ini dirasakan asing olehnya?
Highlights
Please Stand By yang tergolong dalam kategori feelgood movie ini bisa jadi membuat penonton sedikit emosional dengan jalan cerita dan akting sebagai perempuan dengan autis yang ditunjukkan dengan baik oleh Dakota Fanning.
Meski terkadang Dakota terlihat kaku dan sangat terkontrol dan kurang natural, tapi rasa-rasanya untuk peran sebagai perempuan dengan autis, memang seperti itu yang seharusnya terlihat. Jadi akting Dakota cukup layak untuk jadi salah satu highlight terbaik di film ini. Dari mulai tampilan emosi yang naik turun hingga caranya menyelesaikan masalah-masalah di sekitarnya yang terkesan sederhana namun penuh tantangan bagi seseorang dengan autis.
Walaupun singkat, Patton Oswalt juga pas dipasangkan dengan Dakota, terutama saat mereka berdialog dalam bahasa Klingon, bahasa yang digunakan di semesta Star Trek. Secara look, film ini juga menyuguhkan tone yang sangat calm dan bernuansa honey-bright yang membuat penontonnya nyaman menikmati gambar sepanjang film.

Skenario yang ditulis oleh Michael Golamco pun cukup menarik, terutama untuk narasi monolog Wendy yang kebanyakan berdialog dengan diri sendiri di dalam pikirannya.
Kelemahan
Banyak tokoh-tokoh yang kehadirannnya tidak terlalu esensial dalam mempengaruhi jalannya cerita di film ini. Misalnya pasangan yang ditemui Wendy di tengah perjalanan yang lantas mencuri iPod miliknya. Atau wanita tua yang tiba-tiba bersimpati dan membawa Wendy bersama rombongannya. Sedikit terkesan mengada-ada.
Ada juga beberapa karakter yang seharusnya bisa punya porsi cerita lebih dalam untuk dieksplor, tapi malah tersisihkan. Salah satunya kisah rekan kerja pria Wendy bernama Nemo yang diam-diam menaruh hati padanya.
Selain itu, film ini tidak terlalu mendalami kehidupan seseorang dengan autis. Seperti hanya menyuguhkan lapisan terluar dari pengalaman hidup Wendy dengan autis yang dimilikinya.
Kedalaman filosofi-filosofi Star Trek pun tidak memiliki keistimewaan tersendiri di Please Stand By ini.
Rating
7/10
Rekomendasi

Film yang memiliki rating usia 17 tahun ke atas ini sukses menyuguhkan nuansa old school, feelgood yang atraktif pada penontonnya. Meski pesan soal bagaimana seseorang dengan autis menjalani hidupnya tidak terlalu dalam ditelusuri dan dikisahkan.
Tapi film ini bisa membantu untuk sekadar memberi pandangan dari kacamata berbeda bagi publik untuk mengenal sosok seseorang dengan autis. Dengan kemasan yang ringan dan menarik, film ini layak untuk jadi tontonan bersama keluarga dan orang terdekat.
—Rappler.com