Setahun Prabowo-Gibran, Komitmen Gender Dinilai Masih Setengah Hati

- Kurangnya representasi perempuan dalam Kabinet Merah Putih
- Effisiensi anggaran yang diberlakukan sama pada lembaga dan kementerian isu perempuan
Jakarta, IDN Times - Masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memasuki usia satu tahun pada Senin (20/10/2025).
Poin keempat dari delapan misi utama yang dikenal sebagai Asta Cita, ada pembahasan soal mendorong kesetaraan gender dengan meningkatkan peran perempuan, pemuda, dan penyandang difabel di berbagai sektor pembangunan.
Direktur Eksekutif The Indonesian Legal Resource Center, Siti Aminah Tardi, menilai poin itu belum maksimal diterjemahkan oleh pemerintahan saat ini.
"Namun misi ini belum mampu diterjemahkan dalam kebijakan-kebijakan dan program-program utamanya," kata Ami, sapaannya kepada IDN Times, dikutip Senin.
1. Soal kurangnya representasi perempuan dalam Kabinet Merah Putih

Ami menjabarkan sejumlah catatan, salah satunya soal kurangnya representasi perempuan dalam Kabinet Merah Putih.
Menteri perempuan dalam kabinet ini berjumlah lima orang. Namun saat ini jumlahnya menjadi empat setelah posisi Menteri Keuangan yang dijabat Sri Mulyani diganti Purbaya Yudhi Sadewa.
Keempat menteri itu adalah Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Rini Widyantini, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Arifah Fauzi.
"Jumlah ini tidak mencapai 10 persen , jauh d iatas kesepakatan Global Beijing Flatform Action minimal 30 persen di mana Indonesia menyepakatinya. Minimnya jumlah perempuan di level eksekutif ini menunjukkan rendahnya komitmen untuk mendorong kepemimpinan perempuan, karena sedari awal kabinet dibangun untuk distribusi kursi, militeristik, dan patriarki," kata Ami.
2. Soal efisiensi anggaran yang diberlakukan sama pada lembaga dan kementerian tangani isu perempuan

Dia juga menyoroti manel atau man panelist dalam acara satu tahun pemerintahan Probowo Gibran yang merupakan laki-laki.
"Ini menunjukkan tidak ada komitmen untuk memberikan ruang kepada Menteri, Wamen, Gubernur, Wakil Gubernur atau Kepala Badan perempuan untuk menyampaikan refleksi satu tahun pemerintahan Prabowo Gibran. Manel ini tidak lepas dari nilai-nili patriarki yaitu subordinasi yaitu pemimpin adalah laki-laki," ujar Ami.
Belum lagi, kata dia, soal efisiensi anggaran yang diberlakukan sama untuk semua kementerian/lembaga, seperti Kemen PPPA, LPSK, dan Komnas Perempuan, berdampak pada layanan korban.
"Karena umumnya anggaran yang tersisa diprioritaskan untuk gaji pegawai. Sementara untuk program-prorgam yang telah diagendakan pada periode sebelumnya tidak bisa berjalan cepat dan optimal," kata dia.
3. Soroti UU TPKS belum penuhi mandat peraturan pelaksana

Di sisi regulasi, dia menyoroti UU TPKS yang memandatkan tujuh peraturan pelaksana agar pelaksanaannya berjalan optimal.
Menurut Ami, sampai akhir periode Presiden Joko "Jokowi" Widodo, baru empat peraturan yang disahkan, tiga draf aturan di antaranya sudah ada di Sekretariat Negara.
"Namun sampai saat ini baru dua peraturan pelaksana yang disahkan. Masih ada satu peraturan, yaitu rancangan peraturan presiden pemberantasan TPKS. Keterlambatan ini juga terjadi pada penyusunan peraturan tingkat teknisnya," kata dia.
Sementara tentang koordinasi dengan pemda untuk pembentukan UPTD PPA yang dimandatkan UU TPKS dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2024, harus terbentuk di seluruh provinsi, kabupaten dan kota pada 2025.
Kehadiran UPTD PPA tersebut penting guna mengemban mandat jadi pusat layanan untuk korban.