Siswa di Garut Akhiri Hidup akibat Bullying, Puan Minta Perkuat Satgas

- Ketua DPR RI Puan Maharani soroti absennya konselor di sekolah
- Puan minta institusi pendidikan perkuat mekanisme pelaporan
- Dorong pemerintah bentuk satgas
Jakarta, IDN Times - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani menyoroti pentingnya reformasi perlindungan psikososial dalam lingkungan pendidikan. Ini sekaligus menanggapi kasus seorang siswa SMA di Garut, Jawa Barat, berinisial P, 16 tahun, bunuh diri karena diduga mengalami tekanan psikologis berat akibat perundungan fisik dan verbal di sekolahnya.
“Tentunya kami sangat berduka cita atas peristiwa memilukan ini. Kita berharap ke depan tidak ada lagi terjadi peristiwa semacam ini,” kata Puan, dalam keterangan resmi, Selasa (22/7/2025).
Puan mengatakan, peristiwa memilukan tersebut bukan hanya tragedi personal, namun juga cerminan dari krisis yang masih menghantui dunia pendidikan nasional.
“Ini adalah peringatan keras bahwa sistem deteksi dan intervensi dini terhadap kekerasan di sekolah masih jauh dari memadai,” kata Ketua DPP PDIP itu.
Sebagai informasi, P ditemukan di rumahnya dalam kondisi sudah tidak bernyawa Senin, 14 Juli 2025, atau pada hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas. Penyebab utama P nekat mengakhiri hidupnya berdasarkan keterangan keluarganya, karena diduga ia mengalami bullying atau perundungan di sekolah sejak Juni 2025.
1. Puan soroti absennya konselor di sekolah

Terkait kasus ini, Puan meminta pendekatan penyelesaian kasus perundungan harus lebih dari sekadar respons insidental, tapi pembenahan menyeluruh.
“Dibutuhkan pembenahan menyeluruh yang menyasar kelemahan struktural, termasuk minimnya kapasitas guru dalam menangani dinamika psikologis siswa, absennya konselor profesional di banyak sekolah, dan lemahnya kanal pelaporan yang ramah anak,” kata dia.
2. Puan minta institusi pendidikan perkuat mekanisme pelaporan

Puan mendorong seluruh institusi pendidikan, baik di pusat maupun daerah segera memperkuat mekanisme pelaporan yang aman dan rahasia bagi siswa yang mengalami perundungan. Termasuk, integrasi platform digital anonim yang bisa diakses langsung oleh pelajar.
“Kehadiran konselor psikologis profesional merupakan hal wajib yang harus ada di setiap sekolah menengah, bukan sekadar guru BK tanpa pelatihan psikologi mendalam,” ungkap Puan.
"Harus dilakukan pelatihan berkala untuk guru dan tenaga kependidikan dalam mendeteksi gejala gangguan psikososial, depresi, dan potensi kekerasan sosial di kelas," lanjut dia.
3. Dorong pemerintah bentuk satgas

Berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), tren kekerasan di lingkungan pendidikan terus mengalami peningkatan. Pada 2024, tercatat ada 573 kasus terjadi sepanjang tahunnya.
JPPI menyebut, 2024 menjadi tahun dengan lonjakan kasus bullying paling tinggi, dengan peningkatan kasus lebih dari 100 persen dibandingkan 2023. Secara lengkap, JPPI mencatat pada 2020 terdapat 91 kasus kekerasan di pendidikan yang terlaporkan.
Pada 2021 naik menjadi 142 kasus, dan 2022 naik lagi menjadi 194 kasus, 2023 naik menjadi 285 kasus, dan 2024 terdapat 573 kasus. Sementara, kasus bullying pada 2025, belum ada data yang dikeluarkan secara resmi.
Melihat fenomena ini, Puan mendorong agar pemerintah membentuk Satuan Tugas Perlindungan Anak dan Remaja di Sekolah (Satgas PARS) yang melibatkan unsur lintas sektor. Satgas meliputi psikolog, tokoh masyarakat, serta dinas perlindungan anak dan pendidikan untuk melakukan inspeksi berkala dan pendampingan terhadap sekolah yang masuk zona rawan kekerasan.
“Kita tidak bisa menormalisasi bullying dengan dalih kenakalan remaja. Pembenahan terstruktur dalam mengatasi fenomena bullying di sekolah harus dilakukan segera, demi masa depan generasi bangsa,” tutur Puan.