Sumatra Belum Pulih, Kunker Prabowo ke Pakistan Tuai Kritik Sudirman Said

- Sudirman menilai, tidak cukup keberadaan Prabowo di lokasi bencana hanya satu malam. Sebab, ia perlu melakukan cek dan ricek kondisi di lapangan.
- Sentilan keras juga disampaikan Sudirman ketika ditanyakan siapa kini yang berwenang dalam menangani banjir Sumatra. Dia tegas menyebut tidak ada satu pun pihak yang berwenang, kecuali Presiden.
- Sudirman juga menyebut tanpa penetapan status bencana nasional oleh presiden, maka bantuan dari dunia internasional tidak bisa masuk.
Jakarta, IDN Times - Kunjungan kerja Presiden Prabowo Subianto ke Pakistan, Senin (8/12/2025), mendapat sorotan luas dari publik. Sebab, ia memilih meninggalkan Indonesia, sementara Sumatra belum pulih dari bencana. Bahkan, banjir susulan sudah melanda Aceh.
Salah satu yang heran dengan kepergian Prabowo ke Pakistan adalah mantan Deputi Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh dan Nias 2005-2009, Sudirman Said. Ia mengunggah dua foto Prabowo sambil mempertanyakan urgensi dari kepergian tersebut.
"Is this true? You left the country? Mr. President, come on! Your people are dying. Fix your priority please," tulis Sudirman di akun media sosialnya, dikutip Selasa (8/12/2025).
Kepada IDN Times, Sudirman menilai, momen kunjungan Prabowo ke Pakistan tidak pas. Keputusan Prabowo dinilainya tidak berbeda dari Bupati Aceh Selatan yang memilih tetap menunaikan ibadah umrah ke Arab Saudi.
"Yang jelas korban bencana belum sepenuhnya ditangani dengan baik. Skala (bencana) demikian besar. Mereka butuh ditemani dan diayomi pemimpinnya," kata Sudirman, melalui pesan pendek.
Sudirman mengumpamakan bila kampung yang dihuni sejumlah warga sedang terkena musibah, tetapi kepala kampungnya memilih berkunjung ke kampung lain yang dapat dilakukan kapan saja, hal tersebut dapat melukai warga.
"Buktinya presiden memerintahkan agar seorang bupati di Aceh yang meninggalkan lokasi untuk ibadah, ditindak. Bahkan, yang pergi demi keperluan ibadah dianggap desersi," katanya.
1. Prabowo tidak cukup hanya semalam berada di lokasi bencana

Lebih lanjut, Sudirman menilai, tidak cukup keberadaan Prabowo di lokasi bencana hanya satu malam. Sebab, ia perlu melakukan cek dan ricek kondisi di lapangan.
"Pemimpin yang baik tidak hanya percaya kepada laporan formal. Lebih-lebih di masa krisis. Pak Presiden perlu bertemu dengan sebanyak mungkin kalangan. Dengan begitu, keadaan sebenarnya bisa ditangkap. Tidak saja dengan mata dan telinga, tetapi juga mata batin," kata mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu.
Sudirman menyebut pemimpin harus menggunakan mata batin, dalam mengelola krisis yang menimbulkan penderitaan bagi jutaan rakyatnya.
2. Tidak ada satu pun yang berwenang dalam penanganan banjir Sumatra

Sentilan keras juga disampaikan ketika ditanyakan siapa kini yang berwenang dalam menangani banjir Sumatra. Sudirman tegas merespns tidak ada satu pun pihak yang berwenang.
"Yang dimaksud in charged itu individu yang memegang kendali penuh, perintahnya diikuti oleh instansi terkait, ia mengendalikan sumber daya berupa peralatan, manusia, dana hingga informasi, dapat bertindak mandiri atau otonom hingga direct access ke pemimpin tertinggi 24 jam sehari, 7 hari dalam sepekan," ujar Sudirman.
"Saya belum melihat ada fungsi atau personel yang memiliki hal-hal di atas," sambungnya.
Kendati, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pratikno mengatakan, Badan Nasional dan Penanggulangan Bencana (BNPB) menjadi organisasi terdepan dalam mengatasi banjir di Sumatra.
3. Bantuan dari dunia internasional tidak seharusnya ditolak

Sudirman juga menyebut tanpa penetapan status bencana nasional oleh presiden, maka bantuan dari dunia internasional tidak akan bisa masuk Tanah Air. Ia pun mengaku semakin heran karena Prabowo dan sejumlah pejabat tinggi lainnya sudah menyatakan tidak butuh bantuan dari negara luar, karena masih mampu mengatasi sendiri.
"Ini tidak masuk akal. Keadaan begitu parah, pertolongan kepada korban dan distribusi pangan masih belum memadai. Kok menolak bantuan," katanya.
Sudirman juga mengenang ketika Aceh diamuk tsunami pada 2004, presiden dan wakil presiden kala itu bahu-membahu menangani bencana. Bahkan, Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sehari setelah kejadian sudah menjejakkan kaki di Serambi Mekkah.
"Di lapangan, keduanya mendelegasikan kepada figur yang tepat. Di masa tanggap darurat ada pemimpin lapangan yakni Menko Kesra, Alwi Shihab. Di masa rehabilitasi dan rekonstruksi, ditunjuk teknokrat yang dipercaya oleh dunia internasional bernama Kuntoro Mangkusubroto. Kemimpinan kuat yang berlapis-lapis menjadi kunci dalam penyelesaian krisis," tutur dia.
















