Tiga Faktor Penghambat Turunnya Jumlah Perokok di Indonesia

Jakarta, IDN Times - Mantan Direktur Penelitian, Kebijakan dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO), Tikki Pangestu, mengungkapkan tiga faktor yang menghambat turunnya jumlah perokok di Indonesia.
Tikki mengatakan, strategi pengurangan risiko tembakau (THR) lewat produk alternatif seperti rokok elektronik, produk tembakau yang dipanaskan, dan kantong nikotin terbukti berpengaruh terhadap keputusan berhenti merokok. Namun, adopsinya di Indonesia masih terhambat sehingga mempengaruhi penurunan prevalensi merokok.
Dia mengatakan, meskipun ada banyak bukti tentang potensi manfaat produk tembakau alternatif dalam mengurangi risiko kesehatan, masih banyak pihak yang abai terhadap hal tersebut.
Salah satunya, WHO yang tidak pernah mempertimbangkan potensi ini dalam mengurangi prevalensi merokok.
“Produk tembakau alternatif ini tidak digunakan secara luas untuk mengatasi epidemi merokok yang sedang terjadi di berbagai belahan dunia. Hal itu benar-benar mempengaruhi saya sebagai seorang ilmuwan. Mengapa para pembuat kebijakan, WHO, mengabaikan begitu saja bukti yang saya yakini sangat kuat bahwa produk ini benar-benar dapat menyelamatkan nyawa,” kata Tikki dalam keterangan, Rabu (16/4/2025).
1. Kuatnya lobi kelompok antitembakau
Faktor utama yang jadi penghambat dalam penerapan pengurangan risiko tembakau, pertama adalah kuatnya lobi dari kelompok pengendalian antitembakau yang memiliki sumber daya besar dan pendanaan kuat.
"Kelompok tersebut sangat menentang pendekatan pengurangan risiko tembakau dan cenderung mengedepankan kebijakan yang berfokus pada larangan dan pembatasan, tanpa mempertimbangkan perlindungan kesehatan bagi perokok yang ingin beralih ke produk lebih rendah risiko," kata dia.
2. Menolak pendekatan pengurangan risiko tembakau
Kedua, kata dia, negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah cenderung mengikuti arahan WHO yang memiliki sikap menolak terhadap pendekatan pengurangan risiko tembakau.
"Dampaknya, negara-negara tersebut sering kali mengalami keterbatasan dalam menilai manfaat dari implementasi pendekatan pengurangan risiko tembakau melalui penggunaan produk-produk tembakau alternatif," kata dia.
3. Misinformasi tentang produk tembakau alternatif
Ketiga, maraknya misinformasi tentang produk tembakau alternatif yang menyebabkan pemerintah dan organisasi kesehatan menolak untuk lebih terbuka terhadap potensi produk tembakau alternatif.
Salah satu bentuk misinformasi yang paling umum adalah anggapan bahwa produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang sama dengan rokok.
“Semua poin tersebut cukup sulit diatasi dan mencerminkan posisi yang hampir tidak dapat didamaikan. Kelompok pengendalian tembakau bertujuan menciptakan masyarakat bebas nikotin, bagi saya itu bersifat ideologis dan sangat tidak mungkin tercapai. Sementara itu, kami di komunitas pengurangan dampak buruk tembakau memiliki tujuan kesehatan masyarakat yang lebih pragmatis,” kata dia.
Seluruh faktor tersebut, ujar Tikki, berdampak dalam upaya menurunkan prevalensi merokok di berbagai negara, termasuk Indonesia.