Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

SAKSIKAN: Bincang Rappler Bersama Tsamara Amany, Politikus Muda PSI

TSAMARA. Politikus muda PSI Tsamara Amany Alatas berfoto di samping banner Rappler Indonesia. Foto oleh Sakinah Ummu Haniy

JAKARTA, Indonesia — Berbagai tudingan bernada nyinyir dan kritikan pedas tak menyurutkan langkah Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany Alatas untuk bergelut di bidang politik. Perempuan berusia 21 tahun ini, bersikukuh meniti karier di dunia politik. Sebagai perwakilan generasi milenial, Tsamara meyakini, dengan terjun ke dunia politik, dia bisa membawa perubahan.

“Bagi saya secara pribadi, politik adalah sebuah keharusan. Saya bisa marah-marah, bisa mengkritik di sosial media, tapi seberapa berpengaruh itu dibanding ketika saya berada di dalam (dunia politik) dan menjadi salah satu pengambil kebijakan,” ujar Tsamara mengawali perbincangan dengan Rappler di Plaza Kuningan, Jakarta, Rabu, 25 April 2018. 

Diakui Tsamara, generasi milenial saat ini cenderung menunjukan sikap apolitis dalam kehidupan sehari-hari. Mengutip survei litbang Kompas misalnya, diketahui hanya 11% pemuda ingin terjun ke dunia politik. Hal itu tidak lepas dari kenyataan bahwa anak muda merasa dunia politik bukan tempat mereka untuk berkiprah.  

“Politik yang tidak memberikan tempat bagi anak muda. Politik yang diisi orang-orang itu-itu saja. Statusquo. Selain itu banyak sekali kader-kader (partai) politik yang tertangkap KPK. Itu kenapa mereka tidak percaya lagi kepada dunia politik. Bukan hanya anak muda, tapi publik secara umum juga begitu, bahwa partai itu korup. Politik itu korup,” ujar alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina itu.

Namun demikian, ditegaskan Tsamara, kebobrokan yang terjadi dunia politik tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jika generasi muda tidak bergerak, terjun ke dunia politik, dan berusaha mengubah keadaan, maka orang-orang yang tidak berkualitas dan tidak punya kompetensi yang bakal terus berkuasa. “Dan, itu harus dihentikan,” cetusnya. 

Bermula dari magang

Selain kesehariannya di PSI, Tsamara juga mengisahkan bagaimana karier politiknya dimulai. Ketertarikannya untuk terjun ke dunia politik, menurut Tsamara,  bermula saat dia magang di Kantor Gubernur DKI Jakarta, beberapa tahun lalu. Ketika itu, DKI masih dipimpin Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Di bawah bimbingan Ahok, Tsamara mengaku, memeroleh berbagai pelajaran berharga terkait teknis pemerintahan dan dunia politik. 

“Ketika saya masuk ke Balai Kota, saya kemudian sadar bahwa di dalam sana kita bisa berbuat banyak hal. Saya sadar bahwa politik itu tidak melulu buruk. Tergantung siapa yang menggunakannya. Ketika di tangan orang yang baik, politik itu bisa menjadi baik. Tapi, ketika berada di tangan orang yang hanya memikirkan kepentingan pribadi, maka politik menjadi buruk,” tuturnya.  

Di situ pulalah, Tsamara mengenal PSI. Banyak rekan magang Tsamara di Kantor Gubernur DKI Jakarta yang akhirnya membentuk PSI sebagai platform perjuangan. Tanpa pikir panjang, Tsamara pun langsung mengiyakan ketika ajakan bergabung dengan PSI datang dari rekan-rekannya. 

“Saya mengenal mereka secara personal. Saya mengenal bro Juli (Antoni), Sekjen PSI yang dulu jubir Ahok. Saya tahu mereka anak muda yang punya visi. Itu membuat saya yakin bahwa ini partai politik yang cocok dengan visi saya ke depan,” ujar dara yang juga lolos seleksi sebagai caleg PSI di Pemilu 2019 itu. 

Sebagai politikus muda, apalagi berasal dari golongan kaum hawa, Tsamara kerap dikritik sebagai 'anak kemarin sore'. Beragam bentuk ‘pelecehan’ telah dirasakan Tsamara, mulai dari yang paling sopan hingga kritikan yang tak beradab. Namun demikian, menurut Tsamara, kritikan publik—khususnya dari warganet di medsos—merupakan bentuk pengawasan dan ‘rasa sayang’ publik kepadanya. 

“Inilah risiko berpolitik. Kamu harus siap dikuliti, siap dihina, atau dibenci. Tapi, kembali lagi ke prinsip awalnya. Mau berpolitik untuk apa? Apakah kita berpolitik untuk menyenangkan semua orang atau mendapat puja-puji semua orang? Kan enggak? Kita berpolitik karena punya cita-cita. Yang bisa kita lakukan adalah membuktikan sebaliknya, bahwa kita perempuan yang punya cita-cita politik dan mampu merealisasikan. Itu jawaban terbaik bagi haters kita,” tandasnya. 

—Rappler.com

Share
Topics
Editorial Team
Christian Simbolon
EditorChristian Simbolon
Follow Us