Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Vonis Hakim ke AG Dinilai Tak Wajar, Ini Kata Ahli Hukum

AG,  kekasih MArio Dandy usai menjalani pemeriksaan selama 6 jam di Polda Metro Jaya (IDN Times/Amir Faisol)
AG, kekasih MArio Dandy usai menjalani pemeriksaan selama 6 jam di Polda Metro Jaya (IDN Times/Amir Faisol)

Jakarta, IDN Times - Kasus kekerasan yang dilakukan Mario Dandy terhadap David Ozora menyeret nama anak perempuan berinisial AG (15) yang menjadi anak berkonflik dengan hukum (ABH). Proses hukum AG, dinilai terjadi ketimpangan, yakni ketika kerentanan AGH sebagai anak perempuan luput dipertimbangkan oleh hakim tingkat pertama dan banding. 

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Lucky Endrawati, menilai, penetapan AG sebagai pelaku dalam kasus tersebut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) diamini hakim yang menyebut AG turut serta dalam kasus penganiayaan tersebut.

"Padahal kalau saya lihat secara kronologis kasusnya, baik melalui dokumen-dokumen dan informasi yang saya peroleh dari beberapa sumber, AG hanya berperan menelepon. Ada 3 perbuatan yang harus dilakukan seseorang yang pantas untuk mendapat kualifikasi turut serta," kata dia dilansir dari diskusi Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Jumat (12/5/2023).

1. Tidak ada dokumen hasil penilaian kemasyarakatan (HPK)

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dr. Lucky Endrawati, S.H., M.H dalam “Konferensi Pers: Mendorong Keadilan untuk Proses Hukum Anak AGH",
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Dr. Lucky Endrawati, S.H., M.H dalam “Konferensi Pers: Mendorong Keadilan untuk Proses Hukum Anak AGH",

Dia mengatakan, dari analisis amicus, dari tingkat penyidikan hingga tahap pemeriksaan di persidangan, tidak ada dokumen hasil penilaian kemasyarakatan (HPK). 

"Dalam Undang-Undang sistem peradilan anak, kalau hakim tidak mempertimbangkan atau hakim itu wajib mempertimbangkan atau menggunakan HPK itu dalam putusannya," katanya.

Selain HPK, surat asesmen hasil pemeriksaan Asosiasi Psikologi Forensik (Apsifor) juga disebutkannya tidak ada.

“Boro-boro HPK, surat asesmen dari Apsifor yang sudah diakui oleh suatu lembaga yang dinilai ahli untuk membuktikan keterangan sebagai ahli psikolog juga tidak digunakan sama sekali dalam konstruksi Pasal 18 Ayat 1 KUHP terkait dengan alat bukti,” ucapnya.

2. Minta KY awasi keputusan hakim

ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)
ilustrasi (IDN Times/Arief Rahmat)

Hal ini, kata dia, menunjukkan tidak adanya kemauan untuk membuat konstruksi hukum sesuai rambu-rambu yang ada.

Oleh karena itu, dia pun mempertanyakan peran Komisi Yudisial (KY) yang dinilai tak mengawasi kinerja hakim yang memberi vonis penjara 3,5 tahun terhadap AG.

"Jangan hanya KY itu, istilahnya pengawas yang hanya berfungsi sebagai CCTV tapi tidak bisa melakukan tindakan kepada hakim atau tidak bisa melakukan tindakan untuk memperbaiki sistem peradilan pidana anak," katanya.

3. Hakim dinilai tidak mempunyai perspektif masa depan anak

Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Dia juga mengatakan, pidana yang dijatuhkan kepada AG sangat keterlaluan dan menunjukkan hakim anak sangat tidak mempunyai perspektif agar ABH tetap memiliki masa depan.

Lucky mengatakan, jangan sampai putusan pidana tersebut menjadi faktor kriminogen (faktor yang menyebabkan seseorang ingin berbuat jahat) anak setelah dewasa.

"Ini yang sangat harus diperhatikan. Hakim sangat tidak jeli, tidak teliti, tidak cermat, tidak memahami bagaimana posisi atau kedudukan status anak ini," katanya.

Menurut dia, kondisi tersebut menunjukkan kelemahan hakim. Mulai dari jenis kualifikasi pelaku yang tidak masuk kriteria, HPK yang tidak ada, hingga alat bukti yang tidak ada.

"Itu semua sudah menunjukkan kelemahan hakim sehingga tidak wajar dan tidak proporsional ketika hakim menjatuhkan pidana penjara 3,5 tahun," katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Lia Hutasoit
EditorLia Hutasoit
Follow Us