Walhi Beri Rapor Merah Setahun Prabowo: Merusak Keadilan Ekologis!

- Prabowo gagal memastikan pemulihan hak rakyat dan lingkungan.
- Pembangunan yang dilakukan Prabowo-Gibran berpihak pada investasi dan korporasi.
- Ruang hidup rakyat dikuasai oleh segelintir elit ekonomi-politik.
Jakarta, IDN Times - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memberikan rapor merah terhadap satu tahun pemerintahan Presiden RI, Prabowo Subianto. Lembaga swadaya masyarakat ini menilai, Indonesia Gelap adalah cerminan kondisi nyata di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran.
Kabinet yang gemuk dan tidak efektif, kebijakan yang mengabaikan hak asasi manusia dan lingkungan hidup, serta upaya sistematis mengembalikan dominasi militer di ruang sipil menjadi tanda kemunduran demokrasi.
Walhi menyebut, satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran memperlihatkan arah demokrasi yang semakin jauh dari semangat konstitusi. Ambisi memperkuat militerisme tampak dalam kebijakan dan praktik kenegaraan, termasuk pengesahan UU TNI yang memperluas peran militer di ruang sipil. Pemerintahan ini juga melanjutkan pola tata kelola ekstraktif warisan rezim sebelumnya, mengabaikan hak rakyat atas lingkungan hidup yang sehat.
"Walhi menyampaikan catatan kritis sekaligus peringatan tegas terhadap berbagai kebijakan, pendekatan, dan program pemerintahan Prabowo–Gibran yang dinilai merusak prinsip keadilan ekologis serta mengorbankan keselamatan rakyat. Kebijakan yang bersifat represif, tidak berpihak pada keberlanjutan, dan picu bencana ekologis menunjukkan arah pemerintahan abai terhadap hak rakyat dan masa depan lingkungan hidup," kata Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Boy Jerry Even Sembiring dalam jumpa pers di Kantor Walhi, Mampang, Jakarta Selatan, Selasa (14/10/2025).
Even menyebut, satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran diwarnai situasi yang menakutkan dan mengerikan bagi Indonesia. Target delapan persen pertumbuhan ekonomi membuat negara semakin menggenjot investasi, khususnya dari ekstraksi sumber daya alam. Pilihan cara ekonomi yang kapitalistik semakin menaruh rakyat dan lingkungan di bawah ancaman krisis.
"Hal ini kian dipeparah dengan pendekatan represif dan militeristik. Bermula dari pengesahaan perubahan UU TNI dan berlanjut ke beragam situasi represif lainnya," tegas dia.
1. Prabowo gagal memastikan pemulihan hak rakyat dan lingkungan

Sementara, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sumatera Barat, Wengki Purwanto menjelaskan, pada dokumen RPJMN, Prabowo menjabarkan Visi Bersama Indonesia Maju menuju Indonesia Emas 2045 untuk konteks Pulau Sumatera, dengan strategi pengembangan kawasan swasembada pangan, air, energi, serta kawasan komunitas unggulan. Hal itu diyakini akan mampu menumbuhkan ekonomi sumatera di angka 7,2 persen di tahun 2029.
Namun dalam satu tahun ini, rezim Prabowo gagal memastikan pemulihan hak rakyat dan hak lingkungan melalui penegakan hukum serta perlindungan ekosistem esensial seperti sumber air dan pangan.
“Mustahil, ekonomi rakyat kuat, jika ruang semakin menyempit, kawasan pangan hancur dan sumber air tercemar. 1 tahun RPJMN dijalankan, kita justru bergerak lebih cepat ke arah Indonesia Cemas 2045,” kata Wengki.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Kalimantan Selatan (Kalsel), Raden Rafiq menuturkan, daerahnya saat ini mengalami krisis ekologis yang berkepanjangan tanpa ada perhatian komperhensif dari negara. Menurutnya, upaya yang dilakukan pemerintah dalam menangani krisis ekologi hanya dilakukan secara normatif.
Rafiq menyinggung adanya upaya distribusi kekuatan militer melalui peresmian Kodam baru untuk wilayah Kalsel yang diduga untuk membangun kepatuhan dengan rasa takut. Selain itu, Kalsel saat ini mempunyai masalah dengan perencanaan Taman Nasional Meratus karena tidak beriringan dan kontradiktif dengan kearifan lokal, budaya, hukum adat hingga ritus masyarakat adat setempat.
"Proyek semacam ini selalu dibuat dengan dipaksakan. Padahal kami bersama masyarakat adat berulang kali mengupayakan dialog dan menawarkan resolusi dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Jalan konsep pengetahuan lokal tentang konservasi wilayah, bukan menghadirkan konsep konservasi barat yang bertentangan dengan hak ulayat. Ini mencederai kebhinekaan dalam berbangsa. Sama saja negara menegasikan keberadaan masyarakat adat," tegas Rafiq.
2. Pembangunan yang dilakukan Prabowo-Gibran berpihak pada investasi dan korporasi

Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur, Wahyu Eka juga menyampaikan pandangan bahwa satu tahun pemerintahan Prabowo menunjukkan arah pembangunan yang berpihak pada investasi dan korporasi besar, bukan pada perlindungan lingkungan dan rakyat.
Di balik narasi “kemandirian energi” dan “pertumbuhan hijau”, pemerintah justru melanjutkan ekonomi ekstraktif di Pulau Jawa melalui proyek waste to energy, PLTU batu bara, co-firing biomassa, dan giant sea wall yang merusak hutan, pesisir, dan ruang hidup rakyat.
Oleh sebab itu, Walhi Wilayah Jawa menilai, transisi energi yang dijanjikan hanyalah kedok bagi kelanjutan energi kotor.
"Tahun pertama rezim ini bukan masa pemulihan ekologis, melainkan masa akumulasi krisis dan konsolidasi kekuasaan fosil di bawah selubung hijau semu," imbuh Wahyu.
3. Ruang hidup rakyat dikuasai oleh segelintir elit ekonomi-politik

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulawesi Tenggara, Andi Rahman menyampaikan negara beserta ruang hidup rakyat saat ini telah dikuasai oleh segelintir elit ekonomi-politik.
"Mereka yang mengendalikan keputusan-keputusan publik justru mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompoknya, terutama dalam pengelolaan sektor sumber daya alam (SDA), seperti pertambangan, perkebunan, dan energi," tutur dia.
Andi menambahkan, kasus di Sulawesi Tenggara, ekspansi pertambangan nikel yang masif telah menyebabkan kerusakan terhadap sumber ekonomi lokal masyarakat. Pesisir dan laut yang menjadi tumpuan hidup para nelayan kini tercemar dan mengalami degradasi lingkungan yang mengancam keberlanjutan profesinya.