WANSUS: 21 Tahun Kasus Munir, Suciwati Tak Menyerah Tuntut Keadilan

- Suciwati terus memperjuangkan kasus Munir selama 21 tahun
- Anak muda Gen Z ikut berperan dalam melawan impunitas dan ketidakadilan
- Pemerintahan Prabowo belum menunjukkan upaya tuntas terhadap pelanggaran HAM, termasuk kasus Munir
Jakarta, IDN Times – Suciwati berdiri di depan lingkaran massa berpakaian serba hitam, Kamis (4/9/2025). Di balik teriknya matahari sore, matanya menyapu ratusan wajah muda yang memenuhi depan Istana Negara. Mereka, sebagian besar Gen Z, mengangkat poster dengan tulisan: “Kita Adalah Munir”, “Demonstrasi Adalah Hak Asasi”, hingga “Bebaskan Kawan Kami”.
Sudah 18 tahun Suciwati setia hadir di tempat yang sama, setiap Kamis, tanpa pernah absen. Semuanya berawal dari satu kehilangan besar: suaminya, Munir Said Thalib, aktivis HAM yang diracun di atas pesawat Garuda pada 7 September 2004. Kini, 21 tahun berlalu, kasus itu masih menyisakan duka dan ketidakadilan.
“Yang membuat kami tetap bertahan sampai hari ini hanyalah cinta, cinta pada suami, cinta pada keluarga, dan cinta pada Tanah Air. Dari cinta itulah kami punya alasan untuk terus meminta negara ini berubah menjadi lebih adil. Kalau negara belum juga benar, maka suara kita tidak boleh berhenti,” ucap Suciwati pada IDN Times.
Bagi Suciwati, Aksi Kamisan bukan sekadar mengenang. Melainkan ruang melawan lupa, ruang membangun solidaritas lintas generasi serta amunisi ciptakan keadilan. Berikut wawancara khusus IDN Times dengan Suciwati, mengenang 21 tahun kasus Munir.
Sudah 21 tahun sejak Cak Munir dibunuh, bagaimana Mbak Suci menghadapi kenyataan ini dan melihat ketidakadilan yang terus berlangsung?

Ya, kalau saya sih gak pernah menyerah soal kasus Cak Munir. Dari kasus ini kita bisa terus berteriak tentang impunitas. Kekebalan hukum jelas terus-menerus direproduksi oleh negara, oleh pemerintah.
Ini yang harus kita terus-menerus soroti. Misalnya ketika pejabat berdalih untuk tidak menindak kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya karena banyak tempat dan banyak korban, padahal kasus Munir jelas arahnya. Tapi alih-alih diselesaikan, dokumen TGPF Munir hilang, tidak dikuasai. Itu pekerjaan Sekretaris Negara secara tupoksi dia seharusnya bekerja, tapi tidak amanah, malah mengkhianati korban. Saya dan keluarga selama ini mencari keadilan, tapi dokumen katanya dihilangkan. Itu hanyalah dalih untuk menghindari tanggung jawab.
Hal ini terus melekat pada bangsa kita, terutama rezimnya apapun presidennya, baik Jokowi, SBY, maupun Prabowo semua melanggengkan impunitas. Gus Dur dulu ingin memecah impunitas, tapi kemudian langkah itu diturunkan.
Jadi saya pikir, dalam kasus Cak Munir selama 21 tahun, saya tetap optimis. Semua peluang yang ada akan saya gunakan untuk mendorong penegakan hukum yang sebenarnya.
Makanya kami mengimbau masyarakat untuk terus kritis dan bersuara. Itu bagian dari ruang untuk menunjukkan bahwa pejabat kita hanya menghindari tanggung jawab, mencari kambing hitam, dan tidak menyelesaikan persoalan.
Aksi Kamisan kini diikuti banyak anak muda, Gen Z. Menurut Mbak Suci, apakah gerakan masyarakat sipil ini akan terus melawan impunitas?

Sebenarnya, idenya dulu kan Aksi Kamisan memang untuk membangun sebuah ruang di mana korban bisa memperjuangkan haknya, membangun militansi, dan kemudian mengajak orang-orang di sekitarnya untuk peduli terhadap impunitas yang terjadi pada keluarga korban yang berdiri di depan Istana.
Pembunuhan Munir, pembunuhan Wawan, dan banyak kasus-kasus lainnya, termasuk Mei 65 yang konsisten, kadang-kadang juga penghilangan paksa, ikut hadir di sini. Tapi yang pasti, ada bukti, misalnya anak yang ditembak karena membantu mahasiswa lain yang dipukuli oleh polisi dan tentara.
Jadi, kita memang berharap pada anak muda. Karena pada praktiknya hari ini, partai-partai yang menghadirkan politisi yang akhirnya menjadi pejabat negara, itu tidak memiliki pendidikan politik yang kerakyatan. Lebih pada oligarki bagaimana mereka tetap berkuasa, tetap ada di ruang-ruang yang bisa menguasai sumber daya alam (SDA), pajak rakyat, dan semuanya.
Bukan untuk memakmurkan rakyat, hanya memikirkan bagaimana memakmurkan diri dan kelompoknya. Itu yang bisa kita lihat dengan jelas hari ini. Bisa kita lihat bagaimana koruptor yang mencuri uang triliunan malah kemudian diganjar cuma sedikit, padahal itu menghilangkan hak rakyat yang banyak sekali. Rakyat yang seharusnya bisa sekolah sampai lulus S1, berapa banyak dari uang triliunan yang dicuri itu? Berapa anak yang bisa lulus dan mendapatkan pendidikan dari situ?
Dari sini kita bisa melihat bahwa harapan itu bukan pada orang-orang yang duduk manis di sana. Bahkan DPR RI hari ini tidak mewakili rakyat, tapi jelas mewakili partainya. Pendidikan politik mereka minim, empati dan simpati kepada rakyat juga minim. Mereka malah fleksing-fleksing.
Jadi harapan itu hanya pada anak muda. Kalau untuk saya, anak muda yang melawan, yang melihat anak muda melawan dalam hati mereka melawan penindas, siapa yang menindas hari ini? Ada para pejabat ini yang menguasai negara, yang harusnya menjalankan amanah rakyat, tapi absen di sana. Kita bisa melihat lagi bagaimana sumber daya alam (SDA) kita dikuras, masyarakat kita digusur, dibunuh, dipukuli, diculik.
Hari ini aparat mulai mencari-cari kambing hitam. Makanya, saya imbau, harapan hanya pada masyarakat muda, anak muda, dan masyarakat yang kritis terhadap demokrasi. Mereka harus terus menyatakan bahwa itu adalah hak mereka, hak untuk kritis.
Jelang setahun pemerintahan Prabowo, apakah masih optimistis akan ada upaya menuntaskan pelanggaran HAM berat, termasuk kasus Munir?

Menurut saya, orang yang bermasalah pada dirinya sendiri bisa menyelesaikan hal itu? Untuk dirinya sendiri saja dia tidak bisa. Dia menghindari tanggung jawab yang melekat pada dirinya, malah lari ke Yordania, ingat nggak?
Jadi kenapa pertanyaan ini muncul? Kalau buat saya, kenapa orang, meskipun jadi presiden, juga curang lewat pemilu yang saya pikir banyak sekali kalau digugat. Tapi lagi-lagi, orang-orang yang bermasalah itu sudah bebas dihukum di Indonesia, karena dikuasai oleh orang-orang yang tadi saya sebut pecundang.
Saya bilang, kalau bukan pecundang, mereka akan memutuskan dengan lurus. Memang ada juga hakim yang benar, tapi banyak sekali hakim yang tidak benar, kadang-kadang memutuskan karena ancaman, dan sebagainya. Kita juga harus lihat bagaimana banyak pejabat sekarang menguasai semuanya. Orangnya memang berani ngomong, tapi songong, mengancam sana-sini, ya nggak sih?
Kita bisa lihat mulai dari Luhut, Dasco, dan lainnya yang kadang-kadang tidak mengeluarkan kata-kata tegas. Bahkan Prabowo pun kemudian menuduh rakyat yang demonstrasi sebagai makar atau teroris, karena mereka nggak mau melihat persoalan.
Sebenarnya yang terjadi di Republik ini, kenapa rakyat marah, kenapa ada demo, itu semuanya harus dilihat. Kalau mau memecahkan permasalahan, harus ditelisik satu demi satu. Tapi ini kan nggak, langsung menuduh dan memberikan rasa ketakutan lagi kepada rakyat. Eh, kalau kamu macam-macam, kamu bisa dipenjara, diturunkan tentara. Emang dalam keadaan apa kita?
Kita juga bisa lihat demo-demo yang terjadi, pembakaran dan sebagainya. Yang membakar itu beneran masyarakat sipil yang demo? Bisa saja ada yang menunggangi. Tapi kita juga lihat, ternyata anak-anak Gen Z ini cerdas-cerdas. Mereka bisa memetakan, bahkan bisa menjadi intel, dalam arti mengamati orang-orang yang jahat.
Bagaimana? Ditemukanlah orang-orang jahat itu, ternyata juga tentara dan polisi yang membakar dan memprovokasi. Jadi ada sebuah konspirasi yang lagi-lagi akan mencari kambing hitam: rakyat salah, sudah ditindas, disalahkan lagi. Ini selalu akan terus dilakukan, dan ini gaya-gaya Orde Baru yang semakin kuat. Ada penculikan, pemukulan, kekerasan di mana-mana. Ancaman itu gaya Orde Baru sekali.
Bagaimana masyarakat bisa menjaga warisan Munir dan mendorong agar kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk Munir, tetap diperjuangkan?

Kenapa 21 tahun kasus Munir terus diperingati di banyak tempat, termasuk kasus-kasus pelanggaran berat HAM lainnya? Saya pikir ini bagian dari cara kita merawat ingatan. Itu juga cara untuk menunjukkan bahwa negara atau pemerintahan ini tidak bekerja dengan betul. Dengan terus menyuarakan kasus-kasus ini, kita menolak lupa. Kita selalu menaruh hashtag-hashtag, merawat ingatan, menolak lupa, dan tentu saja kita tidak diam.
Kita terus melawan dan melakukan upaya-upaya. Dalam kasus Munir, kita dorong Komnas HAM untuk segera menindaklanjuti. Setelah memutuskan kasus Munir, kasus pelanggaran berat lainnya juga harus mendapat penyelidikan yang lebih komprehensif dan kerja sama dengan Kejaksaan untuk membawa semua kasus pelanggaran berat ke penyidikan. Kalau sudah ada penyidikan, kasus tersebut harus dibawa ke pengadilan HAM. Sudah ada undang-undangnya, tapi soal political will tidak ada di negeri ini, karena itu sama saja membongkar aib mereka sendiri.
Kita bisa lihat, Presiden hari ini pun, terkait kasus pelanggaran berat, mungkin akan menghakimi dirinya sendiri tidak mungkin. Kalau memang dia seorang gentleman, pasti mau, tapi siapa mau? Tapi kan dia bukan gentleman. Selalu melarikan diri dari semua kasus, termasuk kasusnya sendiri. Pertanggungjawaban belum selesai, dia sudah pergi. Kalau dia tidak bersalah, kan bisa maju dan katakan bahwa dia tidak bersalah.
Bagaimanapun caranya, dia mencoba mencuci dosanya dengan membuat sejarah ulang, seperti yang digadang-gadang oleh Fadli Zon. Tapi rakyat tidak bisa ditipu. Kita bisa menulis, korban juga bisa menulis, kita punya narasi sendiri. Bagaimanapun mereka berusaha membersihkan semuanya, sampai kita mati, kita terus melahirkan buku, film, kesenian, dan sebagainya—bagian dari ruang merawat ingatan. Bahwa ada hal buruk terjadi di negara ini dan tidak pernah diselesaikan.
Apalagi kemudian seorang terduga pelaku pelanggar HAM bisa menjadi presiden. Itu menunjukkan adab bangsa ini luar biasa, degradasi moralnya terjun bebas. Jadi kita akan terus melakukan demonstrasi secara konsisten. Sudah ada 72 kota yang menggelar Aksi Kamisan, dan di beberapa tempat lainnya juga. Itu bagian dari kesadaran masyarakat untuk mengingat bahwa ada yang salah.
Meskipun banyak pihak selalu menaruh narasi-narasi, seperti zaman Jokowi dengan buzzer yang sangat masif, menggunakan uang rakyat, mereka berusaha mendelegitimasi gerakan kita. Katanya Aksi Kamisan dilakukan oleh orang pendendam yang tidak move on, atau kita dibayar tiap 5 tahun. Padahal kita sudah 18 tahun di depan Istana.
Ketika ada demo besar kemarin rusuh, mereka bertanya kenapa tidak damai, kenapa tidak berkomunikasi. Kita sudah 18 tahun di depan Istana. Itu bukan sekadar aksi damai, tapi bukti konsistensi. Semua narasi dan pernyataan yang mereka keluarkan tidak pernah memberikan ruang untuk implementasi atau aksi nyata. Tidak ada. Mereka itu nothing. Tapi pernah ditemui nggak sih?”
Setelah 21 tahun memperjuangkan keadilan untuk Cak Munir, apa yang paling dikenang darinya, dan bagaimana Mbak Suci tetap bertahan?

Satu saja cinta yang membuat kita seperti ini: cinta pada negara, cinta pada suami, cinta pada keluarga, cinta pada Tanah Air. Ini yang kita lakukan sehingga membawa kita pada satu titik untuk meminta negara ini jadi benar. Kalau nggak benar, ya bersuara terus. Itu amunisi kita.
Karena buat kita, melawan penindasan itu adalah obat. Kalau kita diam, kita semakin sakit. Jadi kita harus bersuara. Gitu, kalau buat saya, itu amunisinya. Karena cinta, hanya itu aja, nggak ada yang lain.
Memang kita dibayar? Siapa yang mau bayar kita? Gak ada, gratisan. Kita yang malah ngeluarin duit. Nanti akan dituduh asing-asing, capek nggak sih kita ini jadi warga Indonesia? Sementara Presidennya sendiri yang jualan ke asing, ya nggak? Karena kita, loh, dijual ke asing, Amerika. Emang itu tidak antek asing dia? Dia yang antek asing. Kenapa kita yang disentemplin? Karena dia berkuasa.
Jadi bisa gitu? Enggak, kita tolak lah pastinya. Berkaca, makanya cermin itu penting. Mereka tidak pernah mau bercermin karena banyak dosanya. Mukanya jelek banget, dosa, dosa, dosa. Banyak tulisan dosa sehingga nggak bisa kelihatan mukanya.
Dari semua yang dikenang dari Cak Munir, apa yang paling melekat? Bagaimana memelihara semangatnya agar menginspirasi anak muda?

Kalau yang dikenang sosok Cak Munir kan jelas keberaniannya. Rasa cintanya luar biasa juga. Sama, sama Cak, cintanya pada negara ini luar biasa. Dia dikenal karena dia konsen terhadap penegakan Hak Asasi Manusia.
Harusnya negara ini berterima kasih pada dia. HAM diakui karena suara dia secara internasional. Enggak mengharap sih. Yang saya kenal kepada Munir adalah itu: bagaimana seorang yang berani berdiri di depan sebuah rezim yang menindas, yang sangat militeristik. Bahkan kita dulu aja nggak berani ngomong.
Tiba-tiba ada seorang Munir yang langsung menunjuk pada orang-orang jahat yang berkuasa. Buat kita yang kena bungkam puluhan tahun, kaget. Dan itu bagian dari ruang di mana seorang Munir itu cemerlang di sana. Makanya banyak pihak di luar sana yang mengapresiasi kerjanya, karena dia membuat supremasi sipil menjadi kuat di Indonesia. Gitu, itu prestasi yang ada. Dia dibunuh kemudian.
Nah, itu menunjukkan betapa kejamnya sebenarnya pemerintah ini. Rezim di mana seorang anak bangsa seharusnya diberikan tanda jasa karena menentang atau mengkritik, malah dibunuh. Itulah kekejaman yang kita punya pada para penguasa di negeri kita.
Seorang Munir tak tergantikan, tapi saya pikir apa yang dilakukan oleh Munir itu ada dan berlipat ganda. Hari ini kita bisa melihat banyak anak-anak muda Gen Z, anak-anak muda yang kritis, dan itu akan terus lahir, dan itulah spirit yang ditularkan oleh Munir.