1.092 Warga Palestina Meninggal karena Evakuasi Medis Terlambat

- Gaza mengalami krisis obat-obatan dan perlengkapan medis yang sangat terbatas
- Israel sering menunda evakuasi medis dari Gaza, menyebabkan penumpukan pasien yang membutuhkan perawatan
- UNGA mengadopsi resolusi yang mendesak Israel untuk tidak menghalangi bantuan kemanusiaan ke Gaza
Jakarta, IDN Times - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada Jumat (12/12/2025), mengungkapkan bahwa 1.092 warga Palestina di Jalur Gaza meninggal dunia saat menunggu izin evakuasi medis dari Israel antara Juli 2024 dan 28 November 2025. Angka sebenarnya diperkirakan lebih besar, mengingat data yang ada hanya didasarkan pada kematian yang dilaporkan.
Menurut laporan dari Kementerian Kesehatan Gaza, saat ini ada lebih dari 18.500 pasien yang masih menunggu evakuasi. Dari jumlah tersebut, 4.096 di antaranya adalah anak-anak.
"WHO telah meminta lebih banyak negara untuk menerima pasien dari Gaza dan agar operasi evakuasi medis ke Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, dapat dilanjutkan kembali," kata Rick Peeperkorn, perwakilan WHO untuk wilayah pendudukan Palestina, dalam konferensi pers di markas besar PBB di New York.
1. Gaza hadapi krisis obat-obatan penting dan perlengkapan medis
Peeperkorn menjelaskan bahwa 18 dari 36 rumah sakit dan 43 persen pusat kesehatan primer di Gaza hanya berfungsi sebagian. Sementara itu, persediaan obat-obatan penting dan perlengkapan medis yang yang dibutuhkan untuk menangani penyakit jantung serta penyakit lainnya sangat terbatas.
Pejabat itu mengungkapkan bahwa meski tingkat persetujuan untuk pasokan bantuan ke Gaza meningkat selama gencatan senjata, proses masuknya obat-obatan dan peralatan medis ke wilayah tersebut masih berlangsung lambat dan rumit. Banyak barang ditolak masuk karena diklasifikasikan sebagai barang dengan penggunaan ganda.
WHO juga menyoroti Badai Byron yang melanda Gaza. Sedikitnya 10 orang dilaporkan meninggal dalam 24 jam terakhir akibat hujan lebat, sementara ribuan keluarga terpaksa bertahan di tenda-tenda dengan perlindungan yang sangat minim dari kerasnya musim dingin. Kondisi ini, ditambah dengan buruknya sanitasi dan akses terhadap air bersih, diperkirakan akan memicu lonjakan penyakit infeksi saluran pernapasan akut, hepatitis, dan diare, dilansir dari Anadolu.
2. Israel kerap menunda-nunda evakuasi medis
Bulan lalu, WHO mengatakan sekitar 16.500 pasien masih menunggu untuk dievakuasi dari Gaza, tapi terus menghadapi penundaan dari Israel. Sejak Mei 2024, , badan PBB tersebut telah melakukan 119 misi evakuasi dari Gaza, dengan membawa sekitar 8 ribu pasien untuk mendapatkan perawatan, termasuk 5.500 anak-anak. Sebagian besar pasien dievakuasi ke negara-negara di Timur Tengah dan Eropa.
Sejak perang di Gaza pecah pada Oktober 2023, militer Israel secara sengaja menargetkan rumah sakit dan infrastruktur vital lainnya, serta memberlakukan pengepungan yang melumpuhkan wilayah pesisir tersebut. Meski gencatan senjata diterapkan pada Oktober 2025, Israel telah berulang kali melanggarnya, menyebabkan sedikitnya 386 warga Palestina tewas dan 1.018 lainnya terluka.
Kelompok bantuan dan otoritas Gaza juga mengatakan bahwa jumlah truk bantuan yang masuk ke wilayah Palestina tersebut masih jauh di bawah target yang sebelumnya disepakati, yakni 600 truk bantuan per hari.
3. UNGA adopsi resolusi yang mendesak Israel untuk tidak halangi bantuan ke Gaza
Pada Jumat, Majelis Umum Perserikatan PBB (UNGA) mengadopsi resolusi yang menyerukan Israel untuk mengizinkan penyaluran penuh bantuan kemanusiaan ke Gaza, berhenti menghalangi operasi badan-badan PBB, dan memenuhi kewajibannya berdasarkan hukum internasional.
Dilansir dari The New Arab, resolusi tersebut diadopsi melalui pemungutan suara atas rancangan yang diajukan oleh Norwegia dengan dukungan 13 negara. Sebanyak 139 negara memberikan suara setuju, termasuk Turki, sementara 12 lainnya, termasuk Amerika Serikat (AS) dan Israel, memberikan suara menolak. Sementara itu, 19 negara lainnya memilih abstain.
Kementerian Luar Negeri Palestina menyambut baik resolusi tersebut, dengan menyatakan bahwa resolusi ini memperkuat peran PBB dalam melindungi rakyat Palestina, serta menegaskan kewajiban Israel sebagai kekuatan pendudukan. Namun, Front Populer untuk Pembebasan Palestina (FPLP) menilai hasil pemungutan suara tersebut hanya bersifat simbolis dan tidak memiliki mekanisme penegakan yang dapat memaksa Israelmenghentikan perang genosida dan kelaparan yang masih berlangsung.


















