Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Alasan Kenapa Filipina Jadi Langganan Bencana Alam

ilustrasi dampak bencana alam (pexels.com/Алесь Усцінаў)
ilustrasi dampak bencana alam (pexels.com/Алесь Усцінаў)
Intinya sih...
  • Perairan laut hangat memicu topan dan badai tropis di Filipina.
  • Permukiman pesisir rentan terhadap gelombang badai dan kenaikan permukaan laut.
  • Deforestasi memicu longsor, letak di Cincin Api Pasifik, dan pembangunan rentan terhadap bencana.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Filipina baru saja diguncang gempa bumi berkekuatan 6,9 magnitudo yang menewaskan sedikitnya 69 orang dan melukai puluhan lainnya pada Selasa (30/9/2025) malam. Provinsi Cebu menjadi wilayah paling parah terdampak, sampai-sampai menetapkan status darurat bencana keesokan harinya. Ribuan warga pun terpaksa bermalam di jalanan di tengah gempa susulan yang terus terjadi.

Bencana ini datang hanya sepekan setelah dua topan berturut-turut melanda negara itu dan menewaskan lebih dari 20 orang. Rangkaian peristiwa tersebut kembali menyoroti kerentanan Filipina terhadap bencana alam berulang. Lalu, apa yang membuat negeri kepulauan ini begitu rentan terhadap gempa, topan, dan banjir?

1. Perairan laut hangat yang jadi pemicu topan

ilustrasi laut (pexels.com/Sebastian Voortman)
ilustrasi laut (pexels.com/Sebastian Voortman)

Lokasi Filipina yang tepat di atas khatulistiwa membuatnya berhadapan langsung dengan Samudra Pasifik bagian barat. Laut di kawasan ini memiliki suhu rata-rata di atas 28°C, suhu yang ideal untuk memicu pembentukan badai tropis. Setiap tahun, sekitar 20 topan terbentuk di wilayah ini sebelum mencapai daratan Filipina.

Colin Price, ahli atmosfer dari Universitas Tel Aviv, pernah menyebut fenomena ini sebagai warm pool.

“Ini memiliki suhu laut terhangat di dunia. Kami menyebutnya kolam hangat di sekitar Indonesia dan Filipina,” katanya, dikutip dari National Geographic. Suhu perairan yang terlalu hangat membuat potensi badai semakin besar.

Perubahan iklim memperburuk situasi dengan meningkatkan peluang terjadinya badai lebih intens hingga tujuh kali lipat dibandingkan masa lalu. Analisis juga menunjukkan kecepatan angin maksimum topan meningkat akibat pemanasan global. Tidak heran jika musim topan di Filipina kian ekstrem, seperti terlihat pada enam badai berturut-turut pada 2024.

2. Permukiman pesisir yang mudah terendam

ilustrasi rumah di pesisir pantai (pexels.com/Denitsa Kireva)
ilustrasi rumah di pesisir pantai (pexels.com/Denitsa Kireva)

Lebih dari 60 persen penduduk Filipina tinggal di zona pesisir rendah, berdasarkan data Bank Dunia (World Bank). Kondisi ini membuat mereka rentan terhadap gelombang badai (storm surge), fenomena berbahaya yang sering menyertai topan besar. Pada Topan Haiyan, gelombang badai bahkan mencapai 23 kaki di beberapa lokasi dan menyapu habis kota Tacloban.

BBC mencatat, lebih dari 6 ribu orang tewas di Filipina akibat terjangan gelombang tersebut. Permukiman di pulau-pulau datar memang lebih mudah terendam dan sulit dilindungi. Bencana serupa kembali terlihat saat topan berturut-turut baru-baru ini memaksa ribuan orang meninggalkan rumahnya.

Kondisi ini semakin berisiko karena permukaan laut di Filipina meningkat tiga kali lebih cepat dibandingkan rata-rata global. Kenaikan tersebut membuat gelombang badai lebih menghancurkan setiap kali topan datang.

3. Deforestasi yang memicu longsor

ilustrasi penggundulan hutan (pexels.com/Khari Hayden)
ilustrasi penggundulan hutan (pexels.com/Khari Hayden)

Hutan di Filipina yang terus berkurang membuat tanah di lereng bukit tidak lagi memiliki penahan alami. Ketika hujan deras dari topan melanda, tanah mudah sekali meluncur ke bawah dan memicu longsor. Jeff Masters, ahli meteorologi dari Weather Underground, menyebut longsor sering menjadi penyebab kematian kedua setelah badai utama.

Situasi ini mirip dengan yang pernah dialami Haiti, di mana deforestasi menyebabkan saluran air tersumbat dan banjir meluas. Di Filipina, lereng yang gundul tidak hanya memicu longsor, tetapi juga memperburuk banjir pasca-topan. Erosi terjadi lebih cepat karena hujan ekstrem menghantam tanah tanpa vegetasi.

Deforestasi juga erat kaitannya dengan aktivitas manusia, seperti pembukaan lahan. Akibatnya, kapasitas tanah menyerap air berkurang drastis. Jadi, meski badai sudah berlalu, ancaman longsor bisa datang kapan saja.

4. Letak di Cincin Api Pasifik

Zona Cincin Api Pasifik atau Pasific Ring of Fire (Gringer (talk) 23:52, 10 February 2009 (UTC), Public domain, via Wikimedia Commons)
Zona Cincin Api Pasifik atau Pasific Ring of Fire (Gringer (talk) 23:52, 10 February 2009 (UTC), Public domain, via Wikimedia Commons)

Filipina berdiri di atas Cincin Api Pasifik (Pasific Ring of Fire), zona geologis yang paling aktif di dunia. Di kawasan ini, lempeng Samudra Pasifik menunjam ke bawah Lempeng Eurasia dan Lempeng Filipina, menciptakan gesekan yang memicu gempa dan letusan gunung berapi. Contoh jelasnya terlihat pada gempa 7,2 magnitudo di Bohol yang menewaskan 222 orang.

BBC melaporkan, gempa terbaru di Cebu menewaskan 69 orang, dengan korban terbanyak berasal dari Bogo dekat episentrum. Infrastruktur juga hancur, termasuk jembatan yang runtuh dan jalanan yang retak, sehingga menyulitkan tim penyelamat. Rangkaian gempa susulan terus dirasakan hingga Cebu City dan pulau Leyte.

Kerentanan Filipina semakin nyata karena banyak bangunan tua yang tidak tahan guncangan. Sejumlah gereja kolonial bahkan runtuh saat gempa, memperburuk dampak bencana.

5. Pembangunan yang rentan terhadap bencana

ilustrasi desain bangunan (pexels.com/Lex Photography)
ilustrasi desain bangunan (pexels.com/Lex Photography)

Observatorium Manila mencatat, semakin banyak penduduk Filipina yang membangun rumah cepat di wilayah pesisir. Perumahan tanpa standar kokoh membuat warga tidak terlindungi dari terjangan badai. Hal ini terlihat jelas pada Topan Haiyan, di mana banyak korban berasal dari tempat penampungan yang rapuh.

Situasi makin parah karena rencana evakuasi yang terbatas. Pada 2024, enam badai berturut-turut menggusur lebih dari 200 ribu orang. Sistem darurat kewalahan, persediaan menipis, dan tim penyelamat kelelahan menghadapi gelombang bencana yang tak kunjung berhenti.

Dilansir dari Carbon Brief, pemerintah mengalokasikan lebih dari 17 juta dolar AS (setara Rp282 miliar) untuk bantuan, tapi kerugiannya melonjak hingga 47 juta dolar AS (setara Rp780 miliar). Tekanan seperti ini membuat negara sulit beradaptasi dengan cepat. Meskipun sistem peringatan dini dan evakuasi dini sudah diterapkan, badai beruntun tetap menguji batas ketahanan. Inilah tantangan terbesar Filipina di masa depan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us

Latest in News

See More

Korut Gelar Parade Militer Peringati 80 Tahun Berdirinya Partai Buruh

04 Okt 2025, 03:10 WIBNews