AS-PBB Sanksi Eks Pengawal Presiden dan Pemimpin Geng Haiti

- Mantan kepala keamanan istana Haiti dituduh terlibat geng, termasuk dalam pembunuhan Presiden Jovenel Moïse.
- Kempes Sanon, pemimpin Geng Bel Air dan anggota kunci aliansi Viv Ansanm, memainkan peran penting dalam kekerasan di Haiti.
- Dewan Keamanan PBB memperpanjang rezim sanksi Haiti dan menambah nama Hérard dan Sanon, meskipun beberapa negara anggota menyuarakan kekecewaan.
Jakarta, IDN Times- Amerika Serikat (AS) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjatuhkan sanksi terhadap dua individu di Haiti karena mendukung koalisi geng kriminal, Viv Ansanm.
Dua nama yang ditargetkan adalah Dimitri Hérard, mantan kepala pengawal presiden, dan Kempes Sanon, pemimpin geng Bel Air. Sanksi ini diberlakukan pada Jumat (17/10/2025), menyusul kekerasan yang terus melumpuhkan Haiti.
Dewan Keamanan PBB juga mengadopsi Resolusi 2794 (2025) untuk memperbarui rezim sanksi yang ada selama satu tahun ke depan. Rezim sanksi PBB ini mencakup pembekuan aset, larangan perjalanan, dan memperbarui embargo senjata yang vital untuk memutus aliran logistik geng tersebut, dilansir Al Jazeera.
1. Mantan kepala keamanan istana Haiti dituduh terlibat geng
Dimitri Hérard memiliki rekam jejak yang kompleks, pernah menjabat sebagai kepala Unit Keamanan Umum Istana Negara Haiti. Dia termasuk di antara lebih dari 40 orang yang dituduh terlibat dalam pembunuhan Presiden Jovenel Moïse pada Juli 2021. Hérard dipenjara terkait kasus tersebut, tapi berhasil kabur dalam pelarian massal yang diatur geng Viv Ansanm pada Maret 2024.
Setelah berhasil melarikan diri, Hérard mulai berkolusi dan memberikan dukungan langsung kepada aliansi Viv Ansanm. Dukungan yang diberikan termasuk pelatihan militer dan pasokan senjata api kepada para pemimpin geng. Hérard bahkan terlihat dalam video yang menunjukkan dia memberikan tanda pengenal agar kendaraan geng menyerupai yang digunakan oleh pengawal istana.
Keterlibatan Hérard secara langsung mendukung serangan terkoordinasi Viv Ansanm terhadap berbagai institusi negara Haiti. Kementerian Keuangan AS menyebut tindakan Hérard ini adalah bentuk pemfasilitasan terorisme. Sanksi dari AS memblokir seluruh properti dan kepentingan properti Hérard di AS, serta melarang transaksi finansial dengannya.
“Tindakan hari ini menggarisbawahi peran penting para pemimpin geng dan fasilitator seperti Hérard dan Sanon, yang dukungannya memungkinkan Viv Ansanm melakukan tindak kekerasan, pemerasan, dan terorisme di Haiti,” ujar Bradley T. Smith, Direktur Kantor Pengendalian Aset Asing Kementerian Keuangan AS.
2. Peran Sanon dalam kekerasan di Haiti
Individu kedua yang dikenai sanksi adalah Kempes Sanon, yang merupakan pemimpin Geng Bel Air dan anggota kunci aliansi Viv Ansanm. Viv Ansanm sendiri merupakan koalisi geng yang telah ditetapkan oleh Kementerian Luar Negeri AS sebagai Organisasi Teroris Global yang Ditunjuk Khusus (SDGT) pada Mei 2025.
Sanon memainkan peran penting dalam mengonsolidasikan kekuasaan Viv Ansanm di Port-au-Prince, ibu kota Haiti. Koalisi geng ini telah mengeksploitasi kekosongan kekuasaan yang terjadi sejak pembunuhan Moïse pada tahun 2021. Kekerasan geng telah menyebabkan lebih dari 1,4 juta orang harus mengungsi dari rumah mereka.
Geng Bel Air dan aliansi Viv Ansanm dituduh terlibat dalam berbagai tindakan kriminal mengerikan yang menargetkan warga sipil. Kejahatan tersebut termasuk pembunuhan tanpa pandang bulu, pemerasan, pungutan liar, hingga penculikan. Sanon dituding bertanggung jawab atas pembantaian selama tujuh hari di Bel Air pada 2023 yang menewaskan sedikitnya 148 orang.
3. PBB perpanjang embargo senjata Haiti
Dewan Keamanan PBB memperbarui rezim sanksi Haiti, dengan dukungan dari 15 negara anggota. Resolusi 2794 (2025) juga memutuskan bahwa sanksi akan diterapkan pada individu atau entitas yang terlibat dalam eksploitasi atau perdagangan ilegal sumber daya alam yang mengganggu stabilitas negara.
Meskipun menyambut baik penambahan nama Hérard dan Sanon dalam daftar sanksi, beberapa negara anggota PBB menyuarakan kekecewaan. Perancis, Denmark, Slovenia, dan Inggris kecewa resolusi tersebut tidak secara eksplisit mencantumkan kekerasan berbasis seksual dan gender (SGBV) sebagai variabel penting penentuan sanksi.
PBB diminta untuk selalu memantau berbagai kekerasan, termasuk laporan kekerasan gender yang merajalela. Pemerintah Haiti, melalui perwakilannya untuk PBB, Ericq Pierre, menyatakan mereka telah mencatat nama-nama yang diidentifikasi dalam resolusi tersebut.
“Kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan di Haiti tidak dapat diterima,” tutur Jennifer MacNaughtan, perwakilan dari Inggris, dilansir Miami Herald.