Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Serangan Drone di Haiti Tewaskan 11 Warga Sipil

ilustrasi warga Haiti (unsplash.com/TopSphere Media)
ilustrasi warga Haiti (unsplash.com/TopSphere Media)
Intinya sih...
  • Seorang anak perempuan berusia 4 tahun tewas akibat serangan drone di Haiti.
  • Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah terus meningkat
  • Pemerintah belum memberikan komentar mengenai serangan tersebut.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Sedikitnya 11 orang, termasuk delapan anak, tewas akibat serangan drone di ibu kota Haiti, Port-au-Prince. Pemerintah dituding bertanggung jawab atas serangan tersebut.

Jaringan Nasional Pertahanan Hak Asasi Manusia (RNDDH) mengatakan, polisi meluncurkan dua drone kamikaze di kawasan kumuh Cite Soleil pada Sabtu (20/9/2025) malam, ketika sejumlah anggota geng berkumpul untuk merayakan ulang tahun pemimpin mereka, Albert Steevenso alias Djouma. Selain 11 warga sipil, empat anggota geng juga tewas dalam serangan tersebut, sementara tujuh lainnya terluka.

Cite Soleil, salah satu kawasan paling berbahaya di Port-au-Prince, diyakini dikuasai oleh koalisi geng Viv Ansanm, yang telah ditetapkan sebagai organisasi teroris asing oleh Amerika Serikat (AS) pada Mei. Salah satu pemimpin kelompok tersebut, Jimmy Cherizier, yang juga dikenal sebagai Barbecue, berjanji akan membalas serangan tersebut.

1. Keluarga korban tuntut keadilan

Salah satu korban tewas adalah Merika Saint-Fort Charles, seorang anak perempuan berusia 4 tahun. Ibu dan neneknya menuturkan bahwa Merika sedang bermain dengan anak-anak lainnya ketika suara ledakan keras terdengar dari langit.

“Saat mereka sedang bermain, saya mendengar suara ‘boom’ dan ketika saya datang saya melihat kedua lututnya patah dan kepalanya terbelah,” kata neneknya, Mimose Duclaire, kepada Miami Herald.

Ia menambahkan bahwa mereka sempat melarikan Merika ke rumah sakit, tetapi ia akhirnya meninggal dalam perjalanan. Mereka kini hanya bisa menuntut keadilan.

“Ini anak satu-satunya. Saya merasa seperti ingin bunuh diri. Saya membaptisnya, dan dia bersiap untuk mulai sekolah," ujar sang ibu, Gessica Charles,

2. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan meningkat

Pemerintah hingga kini belum memberikan komentar mengenai serangan tersebut. Romain Le Cour, kepala Observatorium Haiti di Inisiatif Global Melawan Kejahatan Terorganisir Transnasional, mengatakan serangan itu akan semakin menguatkan narasi antipemerintah yang diusung koalisi geng pada saat yang kritis.

“Hal ini juga cenderung akan memperdalam ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga negara dan mempercepat terkikisnya legitimasi pemerintah,” ujar Le Cour, dikutip dari The Washington Post.

Ini adalah kali kedua penggunaan drone oleh pemerintah menewaskan warga sipil. Awal bulan ini, ledakan drone di pusat kota Port-au-Prince juga menewaskan sedikitnya 11 warga.

"Kami selalu mengatakan bahwa penggunaan drone harus dikoordinasikan dengan aparat keamanan. Inilah sebabnya terjadi kerugian tambahan. Dan yang lebih parah adalah hal ini terjadi sementara para pemimpin geng bebas bergerak dalam sebuah arak-arakan, berpindah dari satu departemen regional ke departemen lainnya tanpa rasa khawatir," kata Pierre Esperance, kepala RNDDH.

3. 1.520 orang terbunuh akibat kekerasan di Haiti pada April-Juni 2025

Otoritas Haiti tengah berjuang menekan eskalasi kekerasan geng di Port-au-Prince, di mana sekitar 80 persen wilayah kota telah dikuasai geng. Pemerintah diyakini mulai menggunakan drone sejak Maret 2025 untuk memperoleh keunggulan.

Dalam wawancara dengan Financial Times pada Juli, Fritz Jean, yang saat itu menjabat sebagai ketua dewan transisi kepresidenan Haiti, membela penggunaan senjata tersebut di tengah kekhawatiran tentang boleh tidaknya senjata militer dipakai di tempat yang ambang batas konflik bersenjata belum tercapai. Ia menyatakan bahwa pasukan keamanan memerlukan dukungan udara supaya polisi dan tentara dapat memasuki area geng.

“Kalau itu bukan perang, saya tidak tahu apa namanya," tambahnya.

Dilansir dari Al Jazeera, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, bertemu Laurent Saint-Cyr, presiden dewan presiden transisi Haiti saat ini, pada Minggu (21/9/2025). Mereka sepakat bahwa tindakan internasional yang mendesak diperlukan untuk membantu memulihkan keamanan di negara tersebut.

Menurut laporan PBB pada Agustus, sedikitnya 1.520 orang terbunuh dan 600 lainnya terluka di Haiti pada April-Juni 2025. Diperkirakan 1,3 juta warga, 10 persen dari populasi negara itu, juga terpaksa mengungsi dari rumah mereka akibat kekerasan yang melanda ibu kota.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sonya Michaella
EditorSonya Michaella
Follow Us

Latest in News

See More

Pramono Curhat di Depan Menag, Air Bersih Jadi Masalah Utama di Jakut

23 Sep 2025, 19:36 WIBNews