Boris Johnson Diminta untuk Lanjutkan Tunjangan Tambahan

Jakarta, IDN Times - Rencana Perdana Menteri Boris Johnson untuk menghentikan pemberian tunjangan tambahan sebesar 20 pound sterling (Rp386 ribu) per minggu kepada keluarga berpenghasilan rendah di Inggris Raya, dilaporkan pada hari Minggu (3/10/2021) mendapat pertentangan.
Johnson telah diminta untuk tetap mempertahan tunjangan tambahan dalam Kredit Universal selama enam bulan ke depan. Permintaan untuk mepertahankan tunjangan tambahan itu telah diserukan menteri di kabinet, lembaga amal, pihak oposisi Partai Buruh, dan para pemimpin dari tiga negara devolusi Inggris Raya.
1. Pemotongan dapat menyebabkan 500 ribu penerima tunjangan mengalami kemiskinan
Melansir dari Mirror, tunjangan tambahan itu akan berakhir pada 6 Oktober 2021, bertepatan dengan hari Perdana Menteri Johnson akan berpidato di konferensi Partai Konservatif di Manchester. Di Mancherster terdapat 312 ribu pekerja yang menerima manfaat dari Kredit Universal, secara total ada 5,5 juta rumah tangga yang menerima tunjangan tersebut.
Menurut sumber dalam di pemerintahan, mengatakan Johnson telah ditekan oleh para menteri, yang dipimpin oleh Menteri Kesejahteraan Therese Coffey, untuk melanjutkan tunjangan tambahan. Namun, Johnson dan Kanselir Rishi Sunak bersikeras untuk menghentikan, karena jika dilanjutkan dapat membuat pemberian Kredit Universal dan biaya asuransi naik.
Yayasan Joseph Rowntree menyampaikan pemotongan itu akan membuat sekitar 500 ribu penerima tunjangan berpotensi jatuh ke dalam kemiskinan, yang berdampak ke sekitar 200 ribu anak-anak, dengan wilayah yang paling terdampak adalah North East, North West, dan West Midlands.
Sunak pada pekan lalu dilaporkan telah menyiapkan dana 500 juta pound sterling (Rp9,6 triliun) untuk membantu keluarga berpenghasilan rendah untuk membeli makanan, pakaian, dan membayar tagihan. Dana itu dipandang sebagai pengakuan bahwa pemotongan Kredit Universal berdampak besar terhadap banyak keluarga dalam mengakses kebutuhan dasar hidup.
Saat ini Inggris Raya telah dihadapi dengan masalah kenaikan harga energi, bahan bakar, dan pangan. Tagihan energi, yang mencakup gas dan listrik diperkirakan akan naik menjadi sekitar 139 pound sterling (Rp2,6 juta).
2. Rencana Johnson mendapat pertentangan publik

Melansir dari The Independent, survei yang dilakukan oleh Savanta ComRes menunjukkan pemotongan Kredit Universal mendapat pertentangan dari publik. Hasil survei menunjukkan pengurangan itu hanya didukung oleh 19 persen responden, kurang dari satu dari lima responden.
Secara keseluruhan dari hasil jajak pendapat ini menunjukkan 35 persen responden ingin kenaikan tambahan tunjangan tetap dipertahankan, 24 persen ingin adanya peningkatan, dan 10 persen ingin peningkatan harus tetap ada, tetapi pada tingkat yang lebih rendah.
Dari hasil tanggapan responden yang mendukung Partai Konservatif menunjukkan hanya 34 persen yang setuju untuk menghilangkan peningkatan itu sama sekali, tapi 43 persen pemilih Partai Konservatif ingin tunjangan tambahan dipertahankan atau ditingkatkan, sementara 13 persen menyarakan untuk tetap memberikan tunjangan tambahan dengan nilai yang lebih rendah.
Menteri Bayangan Kerja dan Pensiun Jonathan Reynolds dari Partai Buruh pada hari Minggu menyampaikan hasil survei itu memperjelas sikap publik yang menentang rencana Johnson. Reynolds mengatakan penilaian publik, badan amal, dan pemerintah telah menunjukkan pemotongan akan sangat berdampak, dia meminta niat tersebut dibatalkan, menurutnya masih belum terlambat untuk dibatalkan.
Gordon Brown politisi Partai Buruh yang pernah menjabat sebagai perdana menteri mengatakan tindakan untuk mengurangi Kredit Universal akan mempermalukan para menteri selama-lamanya.
3. Pemimpin dari tiga negara devolusi meminta tunjangan tambahan tidak dihentikan
Melansir dari BBC, untuk menentang rencana Johnson pemimpin dari tiga negara devolusi Menteri Pertama Irlandia Utara, Paul Givan dan Wakil Menteri Pertama Michelle O'Neill, serta Menteri Pertama Skotlandia, Nicola Sturgeon dan Menteri Pertama Wales, Mark Drakeford, memperingatkan dalam surat bersama kepada Johnson mengenai pemotongan yang dapat memicu krisis biaya hidup.
Mereka dalam surat tersebut mengatakan tidak ada alasan yang dapat membenarkan pengurangan, ketika anggaran rumah sedang terganggu. Para pemimpin itu mengigatkan untuk bisa pulih dari pandemik COVID-19 kebutuhan dasar harus terpenuhi, dengan pemotongan akan menghambat pemulihan. Mereka mengatakan keputusan tersebut belum terlambat untuk dibatalkan.
Menteri Pertama Paul Givan mengatakan saat ini biaya hidup sedang ada masalah karena cuti yang berakhir, biaya pangan dan energi yang naik, serta dampak dari COVID-19 yang masih terasa.
Wakil Menteri Pertama Michelle O'Neill mengigatkan bahwa tunjagan tambahan sangat berarti bagi banyak keluarga, dengan adanya pengurangan akan berisiko membuat banyak keluarga mengalami lebih banyak kesulitan.