Demo Besar Gen Z di Madagaskar Masuki Pekan Ketiga, Tuntut Presiden Mundur

- Gerakan protes di Madagaskar terinspirasi oleh aksi Gen Z di negara lain
- Mahasiswa menuntut Presiden Rajoelina mundur karena gagal mengatasi kemiskinan dan korupsi sistemik
- Pemerintah menolak tuduhan politisasi gerakan, sementara PBB melaporkan korban jiwa dan kekerasan berlebihan
Jakarta, IDN Times – Memasuki pekan ketiga berturut-turut, aksi demonstrasi besar kembali mengguncang Madagaskar pada Senin (6/10/2025). Para pengunjuk rasa kini menuntut Presiden Andry Rajoelina untuk mundur dari jabatannya, setelah berminggu-minggu mereka memprotes pemadaman listrik dan krisis air yang melanda negara itu.
Bentrok kembali terjadi di Ibu Kota Antananarivo, di mana polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan ribuan massa, yang kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa universitas. Aksi protes juga pecah di beberapa kota besar lainnya seperti Toliara di selatan dan Diego Suarez di utara.
Gerakan ini disebut sebagai gelombang protes terbesar di Madagaskar dalam beberapa tahun terakhir, terinspirasi oleh demonstrasi Gen Z di sejumlah negara yang menentang korupsi serta kesenjangan ekonomi.
1. Terinspirasi gerakan Gen Z di sejumlah negara

Gelombang unjuk rasa di Madagaskar dimulai bulan lalu sebagai bentuk protes atas pemadaman listrik dan krisis air yang berkepanjangan. Namun, kini tuntutannya berkembang menjadi seruan agar Presiden Rajoelina mundur dari kursi kepemimpinan.
Aksi ini dipelopori oleh generasi muda, terutama mahasiswa yang menuduh pemerintah gagal mengatasi kemiskinan ekstrem dan korupsi sistemik di negara tersebut. “Ini bukan hanya soal listrik dan air. Ini tentang masa depan kami,” ujar salah satu pengunjuk rasa di Antananarivo, dikutip dari CNN.
Madagaskar, meski kaya sumber daya mineral dan memiliki keanekaragaman hayati luar biasa, tetap termasuk negara termiskin di dunia. Menurut data Bank Dunia, pendapatan per kapita negara ini turun 45 persen sejak kemerdekaan tahun 1960 hingga 2020.
2. Pemerintah tuding aksi ditunggangi politik

Pemerintah menolak tuduhan bahwa Rajoelina tidak responsif. Dalam pernyataannya pada Jumat lalu, Presiden 51 tahun itu mengatakan, siap mendengarkan keluhan rakyat, namun menolak menyerahkan jabatan.
Juru bicara kantor presiden menyebut, gerakan ini dimanfaatkan oleh aktor politik yang ingin menggoyang stabilitas nasional. “Presiden Rajoelina tetap berkomitmen untuk berdialog dan mempercepat solusi bagi kehidupan masyarakat,” katanya dalam pernyataan tertulis.
Namun, para pengunjuk rasa menilai langkah Rajoelina memecat seluruh kabinetnya pekan lalu tidak cukup untuk memperbaiki keadaan. Mereka menegaskan, satu-satunya solusi adalah kepergian presiden itu sendiri.
3. Korban jiwa dan sikap PBB

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan sedikitnya 22 orang tewas dan lebih dari 100 luka-luka selama hari-hari awal aksi protes. Namun, pemerintah Madagaskar membantah angka tersebut.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menyebut pemerintah telah menahan puluhan demonstran tanpa proses hukum, dan menggunakan kekerasan berlebihan terhadap warga. Pihak kepresidenan mengatakan, telah bertemu dengan beberapa organisasi sipil pada Sabtu lalu, namun kelompok lain menolak hadir karena tidak ada jaminan kebebasan demonstrasi maupun pembebasan para tahanan.
Sementara itu, protes masih terus berlanjut di berbagai penjuru negeri. Banyak warga menilai aksi kali ini merupakan titik balik bagi generasi muda Madagaskar yang menuntut transparansi, keadilan sosial, dan perubahan nyata.