Demo Pecah di Timor Leste, Rencana Belanja Mobil DPR Jadi Sebabnya

- Demonstrasi besar di Timor Leste menentang rencana pembelian mobil dinas baru bagi 65 anggota parlemen.
- Lebih dari 1.000 orang, mayoritas mahasiswa, turun ke jalan memprotes kebijakan tersebut.
- Demonstrasi dimulai damai, namun berakhir dengan polisi menembakkan gas air mata setelah beberapa pengunjuk rasa melemparkan batu ke arah parlemen.
Jakarta, IDN Times - Demonstrasi besar terjadi di Parlemen Nasional Dili, Timor Leste, pada Senin (15/9/2025). Lebih dari 1.000 orang, yang mayoritas mahasiswa, turun ke jalan demi memprotes kebijakan pembelian mobil dinas baru bagi 65 anggota parlemen.
Para demonstran marah karena kebijakan pembelian mobil baru itu dianggap tak sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan, ketika data dari Bank Dunia menyebutkan 40 persen penduduk Timor Leste masih hidup di bawah garis kemiskinan.
"Kami meminta anggota parlemen untuk membatalkan keputusan pembelian (Toyota) Prado demi perbaikan diri. Jika tidak, kami tetap berdiri di sini," kata Leonito Carvalho, seorang mahasiswa dari universitas swasta Universidade da Paz yang berbasis di Dili, dilansir dari The Manila, Senin (15/9/2025).
Demonstrasi sebenarnya dimulai dengan damai, tetapi polisi terpaksa menembakkan gas air mata setelah beberapa pengunjuk rasa melemparkan batu ke arah parlemen, merusak beberapa mobil. Gas air mata melukai setidaknya empat pengunjuk rasa, yang kemudian dibawa ke fasilitas kesehatan terdekat.
Pejabat Kepolisian Nasional, Justino Menezes, mengatakan pihak berwenang akan memanggil koordinator protes untuk menuntut pertanggungjawaban atas kerusakan tersebut.
Beberapa partai politik Timor Leste yang tahun lalu menyetujui anggaran 2025 untuk membeli mobil-mobil tersebut mengatakan mereka akan meminta parlemen untuk membatalkan pembelian tersebut. Dalam pernyataan bersama, Kongres Nasional untuk Rekonstruksi Timor, Partai Demokrat, dan Perkaya Persatuan Nasional Putra-Putra Timor, mengatakan rencana itu tidak mencerminkan kepentingan publik.
Bekas jajahan Portugal ini, yang baru lepas dari Indonesia pada 2002 lalu, bergulat dengan tingkat ketimpangan yang tinggi, kekurangan gizi, dan pengangguran, serta masih sangat bergantung pada minyak, dengan sedikit diversifikasi ke sektor lain.