Finlandia Keluar dari Perjanjian Larangan Ranjau Darat karena Ancaman Rusia

Jakarta, IDN Times - Parlemen Finlandia resmi menyetujui penarikan diri dari Konvensi Ottawa 1997 yang melarang penggunaan ranjau darat antipersonel, pada Kamis (19/6/2025). Langkah ini diambil merespons ancaman militer dari Rusia, negara dengan perbatasan terpanjang dengan Finlandia di antara anggota NATO.
Finlandia kini sejalan dengan Estonia, Latvia, Lithuania, dan Polandia yang telah atau akan keluar dari perjanjian serupa. Hal ini mencerminkan kekhawatiran kolektif di kawasan atas agresi Rusia pascainvasi ke Ukraina pada 2022.
1. Keputusan strategis parlemen
Parlemen Finlandia mengesahkan mosi penarikan dari Konvensi Ottawa dengan suara 157 berbanding 18. Keputusan ini didasarkan pada evaluasi Kementerian Pertahanan dan militer, yang menilai ranjau darat sebagai bagian penting dalam strategi pertahanan nasional.
Dengan perbatasan sepanjang 1.340 kilometer dengan Rusia, Finlandia menilai perlu memperkuat kesiapan militernya. Presiden Alexander Stubb menegaskan alasan keputusan tersebut.
“Realitasnya adalah kami memiliki negara tetangga yang imperialis dan agresif bernama Rusia, yang bukan anggota Konvensi Ottawa dan menggunakan ranjau darat secara kejam,” ujar Stubb.
Ia merujuk pada penggunaan ranjau oleh Rusia dalam perang Ukraina yang memicu kekhawatiran di negara-negara tetangganya.
Finlandia, yang bergabung dengan NATO pada 2023, mengikuti langkah negara-negara Baltik dan Polandia yang mulai keluar dari perjanjian sejak awal 2025. Finlandia kini mengadopsi pendekatan pertahanan yang lebih fleksibel untuk menghadapi potensi ancaman jangka panjang dari Moskow.
2. Dampaknya terhadap militer Finlandia
Finlandia akan memberi tahu negara anggota Konvensi dan PBB mengenai penarikan tersebut, yang memungkinkan penimbunan ranjau mulai akhir 2025 atau awal 2026. Sejak meratifikasi perjanjian pada 2012, Finlandia tidak lagi memiliki opsi penggunaan ranjau darat dalam pertahanan nasional, dilansir Bloomberg.
Menteri Pertahanan Antti Hakkanen menyatakan bahwa tujuan utama langkah ini adalah menjaga keselamatan warga.
“Saya percaya pemerintah dan parlemen memiliki kewajiban mengambil langkah-langkah yang mengurangi risiko serangan terhadap Finlandia,” katanya di platform X.
Finlandia juga berencana meningkatkan anggaran pertahanan hingga 3 persen dari PDB pada 2029 untuk modernisasi militer, termasuk pengadaan ranjau. Laporan Kementerian Pertahanan menyebut ranjau efektif memperlambat laju musuh dan mengurangi korban di pihak pertahanan.
3. Reaksi dan kritik internasional
Langkah Finlandia menuai kritik dari kelompok hak asasi manusia dan pemimpin internasional. Sekjen PBB Antonio Guterres menyatakan keprihatinannya atas penarikan beberapa negara dari Konvensi Ottawa.
“Saya sangat khawatir dengan pengumuman dan langkah yang diambil oleh beberapa negara anggota untuk keluar dari Konvensi Larangan Ranjau Antipersonel,” ujar Guterres, dikutip dari Al Jazeera.
Ia menyerukan agar semua negara tetap mematuhi norma kemanusiaan yang telah disepakati.
Organisasi seperti MAG menyoroti bahaya ranjau yang sering kali tetap aktif setelah konflik berakhir.
“Keamanan tidak bisa dibangun di atas senjata yang membunuh tanpa diskriminasi dan tetap berada di tanah setelah konflik selesai,” kata Riccardo Labianco dari MAG, dilansir dari Business Insider.
Konvensi Ottawa telah diratifikasi lebih dari 160 negara sebagai komitmen global melindungi warga sipil. Namun, sejumlah analis mendukung keputusan Finlandia berdasarkan realitas geopolitik.
“Perang Ukraina telah menunjukkan nilai militer ranjau darat dalam menghambat kemajuan musuh,” ujar Jacob Parakilas dari RAND Europe, dikutip dari Business Insider.
Ia mengingatkan bahwa tantangan utama tetap pada pengelolaan ranjau untuk mencegah dampak jangka panjang terhadap warga sipil.