Geng Bersenjata Gaza Ngaku Berkoordinasi dengan Militer Israel

Jakarta, IDN Times - Yasser Abu Shabab, pemimpin kelompok bersenjata Palestina yang menentang kendali Hamas di Jalur Gaza, mengonfirmasi bahwa pihaknya berkoordinasi dengan militer Israel dalam melancarkan operasi di Rafah.
"Selama tujuannya adalah dukungan dan bantuan (dari militer Israel) dan tidak lebih dari itu, ketika kami menjalankan sebuah misi, kami memberi tahu mereka — tidak lebih dari itu — dan kami melaksanakan operasi militer sendiri," kata Abu Shabab dalam wawancara dengan Makan, stasiun radio Israel yang berbahasa Arab, pada Minggu (6/7/2025).
Ia mengungkapkan bahwa kelompoknya, yang dikenal sebagai Pasukan Populer, juga menerima dukungan logistik dan finansial dari beberapa pihak, tanpa menyebutkan Israel secara langsung.
“Ada hal-hal yang tidak bisa kita bicarakan secara terbuka," imbuhnya.
1. Tetap berkomitmen melawan Hamas meski gencatan senjata tercapai
Abu Shabab menyatakan bahwa Pasukan Populer yang dipimpinnya tidak berafiliasi dengan ideologi atau organisasi politik mana pun. Ia mengungkapkan bahwa tujuan kelompok tersebut adalah untuk memberantas ketidakadilan dan korupsi yang dilakukan oleh Hamas.
"Akan ada pengorbanan dan pertumpahan darah. Kami menjalankan proyek ini untuk membebaskan rakyat dari ketidakadilan (Hamas). Kami tidak akan mundur dari ini, apa pun risikonya, termasuk darah yang tertumpah," ujarnya.
Saat ditanya tentang prospek gencatan senjata, Abu Shabab mengatakan bahwa kelompoknya akan tetap melanjutkan operasi melawan Hamas meskipun gencatan senjata tercapai.
“Jika gencatan senjata terjadi, kami akan melanjutkan pekerjaan kami, tidak peduli dengan biaya atau pertumpahan darah. Kami tidak terikat dengan gencatan senjata. Itu urusan mereka (Hamas) dengan tentara Israel," ungkapnya.
2. Israel akui dukung kelompok bersenjata Palestina di Gaza
Bulan lalu, Israel mengaku memberikan dukungan kepada kelompok bersenjata Palestina yang menentang Hamas di Gaza, meskipun tidak menyebutkan nama kelompok tersebut secara spesifik. Namun, laporan media lokal mengidentifikasi kelompok yang dimaksud sebagai kelompok pimpinan Abu Shabab.
“Ini hal yang baik, karena dapat menyelamatkan nyawa para tentara Israel,” kata Perdana Menteri Benjamin Netanyahu saat itu.
Namun, anggota Knesset sekaligus mantan menteri pertahanan, Avigdor Lieberman, menuduh pemerintah telah memberikan senjata kepada sekelompok kriminal.
Sementara itu, Lembaga pemikir Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa menggambarkan Abu Shabab sebagai pemimpin geng kriminal di wilayah Rafah, Gaza selatan, yang dicurigai terlibat dalam penjarahan truk-truk bantuan.
3. Hamas beri waktu 10 hari bagi Abu Shabab untuk menyerahkan diri
Abu Shabab sendiri telah memicu kemarahan Hamas, yang telah menguasai Jalur Gaza sejak 2007. Pada 2 Juli, pengadilan militer Hamas memberinya waktu 10 hari untuk menyerahkan diri guna diadili atas sejumlah tuduhan, termasuk makar. Warga Gaza juga diimbau untuk memberi tahu pejabat keamanan Hamas mengenai keberadaannya.
Sebagai respons, Pasukan Populer menyebut perintah pengadilan itu sebagai sitkom yang tidak akan menakuti mereka maupun orang-orang merdeka yang mencintai tanah air mereka.
Dilansir dari Middle Easte Eye, Abu Shabab sebelumnya dipenjara oleh Hamas atas tuduhan perdagangan narkoba. Pria berusia 35 tahun itu berhasil melarikan diri setelah pecahnya perang Israel di Gaza pada Oktober 2023. Sejak itu, ia telah merekrut ratusan orang dan menguasai sebuah wilayah dekat penyeberangan Kerem Shalom, yang menghubungkan Gaza, Israel dan Mesir.
Pekan lalu, koalisi klan Palestina menuduh Pasukan Populer secara terang-terangan bekerja sama dengan musuh.
“Mereka ditolak oleh seluruh rakyat kami. Kami tidak akan menunjukkan belas kasihan kepada mereka, maupun kepada siapa pun yang mengikuti jejak mereka dengan membantu penjajahan. Mereka akan diperlakukan sebagaimana mestinya: sebagai pengkhianat dan kolaborator," kata koalisi tersebut dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Arab News.