Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Hamas Tolak Mentah-mentah Resolusi DK PBB Terbaru Soal Gaza

Pasukan Hamas dalam Peringatan 25 tahun Hamas yang dirayakan di Gaza pada Desember 2012. (commons.wikimedia.org/Hadi Mohammad)
Pasukan Hamas dalam Peringatan 25 tahun Hamas yang dirayakan di Gaza pada Desember 2012. (commons.wikimedia.org/Hadi Mohammad)
Intinya sih...
  • Hamas menolak resolusi DK PBB yang membentuk Board of Peace dan International Stabilization Force untuk Gaza.
  • Resolusi disahkan dengan 13 suara setuju, sementara China dan Rusia memilih abstain.
  • AS memposisikan resolusi ini sebagai cetak biru untuk transisi menuju pemerintahan baru di Gaza.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Hamas menolak keras resolusi Dewan Keamanan PBB (DK PBB) yang mengesahkan pembentukan Board of Peace (BoP) dan International Stabilization Force (ISF) untuk Gaza. Resolusi tersebut disahkan beberapa jam setelah rancangan yang diprakarsai Amerika Serikat (AS) disetujui pada Senin waktu New York.

Dalam pernyataannya, Hamas menyebut keputusan itu sebagai upaya pemberlakuan mekanisme perwalian internasional atas wilayah Gaza. Penolakan ini terjadi setelah DK PBB memberikan mandat penuh kepada ISF membantu stabilisasi keamanan, demiliterisasi, dan transisi pascagencatan senjata, dengan masa berlaku hingga 31 Desember 2027. Resolusi disahkan dengan 13 suara setuju, sementara China dan Rusia memilih abstain.

Langkah ini merupakan tindak lanjut dari rencana 20 poin Presiden AS Donald Trump, yang mendasari gencatan senjata pertama antara Israel dan Hamas. Melalui resolusi itu, DK PBB menempatkan BoP yang dipimpin Presiden Trump bersama ISF sebagai mekanisme transisi menuju rekonstruksi Gaza.

Namun, bagi Hamas, keputusan ini tidak bisa diterima karena dianggap memihak Israel. Mereka menegaskan bahwa setiap pasukan internasional yang terlibat di Gaza di luar mandat pemantauan gencatan senjata adalah bentuk campur tangan yang tidak sah.

1. Hamas nilai ISF bukan pasukan netral

Hamas dengan tegas menolak kewenangan yang diberikan kepada ISF di Gaza. Dalam pernyataannya yang disampaikan melalui Telegram, Hamas menilai resolusi ini sebagai upaya internasionalisasi Gaza yang tidak sah.

“Resolusi ini memberlakukan mekanisme perwalian internasional atas Jalur Gaza, yang ditolak oleh rakyat kami dan seluruh faksi perlawanan,” kata Hamas dalam pernyataannya, yang dikutip dari Anadolu, Selasa (18/11/2025).

Hamas menambahkan, penugasan ISF untuk melakukan perlucutan senjata kelompok perlawanan menjadikan pasukan internasional itu tidak netral.

"Memberikan tugas seperti itu kepada pasukan internasional menanggalkan netralitasnya dan menjadikannya bagian dari konflik untuk kepentingan pendudukan," tulis Hamas.

Hamas juga menegaskan, pasukan internasional hanya bisa diterima jika ditempatkan di perbatasan sebagai pemisah dan pemantau gencatan senjata, serta sepenuhnya berada di bawah pengawasan PBB.

Selain itu, Hamas menolak konsep apa pun yang memberi ruang bagi Israel untuk berperan dalam proses reotorisasi ISF di masa depan.

Pernyataan keras itu dikeluarkan di tengah meningkatnya kekhawatiran bahwa mandat ISF akan digunakan untuk mengatur kembali keamanan Gaza dengan mengurangi peran kelompok-kelompok perlawanan.

2. Resolusi DK PBB dinilai ambisius di tengah perang Gaza

Resolusi terbaru DK PBB menjadi salah satu langkah paling ambisius dalam dua tahun perang Gaza. AS memposisikan resolusi ini sebagai cetak biru untuk transisi menuju pemerintahan baru di Gaza, dengan harapan mencapai penentuan nasib sendiri Palestina setelah reformasi Otoritas Palestina.

Utusan AS Mike Waltz mengatakan bahwa resolusi tersebut dapat menyalakan jalan menuju perdamaian, dan menyebut BoP sebagai pilar utama bagi upaya stabilisasi pascaperang. Ia menambahkan bahwa ISF akan bekerja untuk mendukung demiliterisasi Gaza, membongkar infrastruktur teror, dan memastikan keselamatan warga sipil Palestina.

Dalam resolusi itu, setiap perpanjangan mandat ISF setelah 2027 harus dilakukan dengan koordinasi penuh bersama Mesir, Israel, dan negara-negara lain yang bekerja dengan ISF. Klausa ini memicu kritik Hamas karena dianggap memberi Israel pengaruh besar terhadap tata keamanan Gaza.

Pemerintah AS menyampaikan apresiasi kepada negara-negara yang mendukung resolusi tersebut, termasuk Indonesia, Qatar, Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Turki, dan Yordania—sebagai bagian dari koalisi diplomatik yang membentuk desain transisi itu.

3. Hamas desak penegasan wewenang PBB

Sebagai respons akhir, Hamas menekankan setiap pasukan internasional harus beroperasi dalam kerangka PBB, dan bukan melalui desain bilateral atau trilateral. Mereka menyebut bahwa konsep ISF perlu ditinjau ulang agar tidak berubah menjadi mekanisme keamanan yang menguntungkan Israel.

“Setiap pasukan internasional, jika dibentuk, harus ditempatkan hanya di perbatasan untuk memisahkan kekuatan dan memantau gencatan senjata, serta berada sepenuhnya di bawah pengawasan PBB,” tulis Hamas dalam pernyataannya.

Kelompok tersebut juga menegaskan, rakyat Gaza tidak akan menerima struktur pemerintahan atau keamanan yang ditentukan tanpa konsultasi langsung dengan perwakilan Palestina. Hamas memperingatkan, keputusan yang mengabaikan kehendak rakyat Gaza hanya akan meningkatkan ketegangan.

Meski demikian, resolusi DK PBB tetap menjadi dasar hukum baru yang akan membentuk fase transisi Gaza hingga akhir 2027. Perdebatan mengenai legitimasi dan kewenangan ISF akan terus berlanjut di meja diplomasi.

Share
Topics
Editorial Team
Ilyas Listianto Mujib
EditorIlyas Listianto Mujib
Follow Us

Latest in News

See More

Pratikno: Indonesia Bisa Jadi Pemasok Tenaga Kerja Terampil

18 Nov 2025, 23:31 WIBNews