Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Jurnalis Inggris Sami Hamdi Ditahan saat Masuk AS, Ada Apa?

Sami Hamdi
Sami Hamdi (x.com/@SALHACHIMI)
Intinya sih...
  • Pemerintah Inggris dituntut untuk minta klarifikasi segera dari AS terkait penahanan Hamdi
  • Hamdi dituding membahayakan keamanan nasional
  • Pemerintahan Trump tindak keras mereka yang mengkritik tindakan Israel di Gaza
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Komentator politik dan jurnalis Inggris, Sami Hamdi, ditahan oleh otoritas imigrasi federal di bandara internasional San Francisco, Amerika Serikat (AS), pada Minggu (26/10/2025). Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) mengaitkan penahanan tersebut dengan kritiknya terhadap perang Israel di Gaza.

Sebelum ditahan oleh lembaga Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri AS (DHS), Hamdi sempat berpidato di acara gala CAIR di Sacramento pada Sabtu (25/10/2025) malam, dan dijadwalkan hadir di acara CAIR lainnya di Florida keesokan harinya. Ia dikenal vokal menuduh para politisi AS ikut berperan dalam memungkinkan terjadinya genosida oleh Israel di Gaza.

“Negara ini harus berhenti menculik para pengkritik pemerintah Israel atas permintaan para fanatik pro-Israel yang tidak terkendali. Ini adalah kebijakan Israel First, bukan kebijakan America First, dan kebijakan semacam ini harus diakhiri," kata CAIR dalam pernyataannya.

1. Pemerintah Inggris dituntut untuk minta klarifikasi segera dari AS terkait penahanan Hamdi

Dilansir dari Al Jazeera, teman-teman Hamdi menyebut penangkapannya sebagai preseden yang sangat mengkhawatirkan bagi kebebasan berekspresi dan keselamatan warga negara Inggris di luar negeri. Mereka mendesak Kementerian Luar Negeri Inggris untuk menuntut klarifikasi segera dari otoritas AS terkait alasan penahanan Hamdi.

“Penahanan seorang warga negara Inggris karena menyampaikan pendapat politik adalah preseden berbahaya yang tidak seharusnya ditoleransi oleh negara demokratis mana pun,” demikian pernyataan mereka.

Dalam unggahan di X, ayah Hamdi, Mohamed El-Hachmi Hamdi, menyatakan bahwa putranya tidak memiliki keterikatan dengan kelompok politik atau keagamaan mana pun.

“Pandangan nya tentang Palestina tidak berpihak pada faksi mana pun di sana, melainkan pada hak rakyat untuk hidup dengan aman, damai, bebas, dan bermartabat. Sederhananya, ia adalah salah satu dari pemimpi muda generasi ini, yang mendambakan dunia yang lebih penuh kasih sayang, keadilan, dan solidaritas," tambahnya.

2. Hamdi dituding membahayakan keamanan nasional

Asisten Sekretaris DHS, Tricia McLaughlin, mengonfirmasi penahanan Hamdi di X, dan mengklaim tanpa bukti bahwa jurnalis tersebut menimbulkan ancaman terhadap keamanan nasional.

“Visa orang ini telah dicabut, dan ia kini berada dalam tahanan Imigrasi dan Bea Cukai (ICE) sambil menunggu proses deportasi,” tulis McLaughlin.

Sementara itu, aktivis sayap kanan sekaligus sekutu Presiden AS Donald Trump, Laura Loomer, dengan bangga mengaku berperan dalam penangkapan Hamdi.

“Kalian beruntung nasibnya hanya ditangkap dan dideportasi,” tulis Loomer, yang menuduh jurnalis Inggris tersebut sebagai pendukung Hamas dan Ikhwanul Muslimin.

Loomer dan sejumlah pihak lainnya mengaitkan meningkatnya tekanan terhadap Hamdi dengan RAIR Foundation, sebuah jaringan lobi pro-Israel yang menyatakan bahwa misinya menentang supremasi Islam. Baru-baru ini, RAIR menuduh Hamdi berusaha membangun jaringan politik asing yang bermusuhan dengan kepentingan AS, dan mendesak pihak berwenang untuk segera mengusirnya dari negara itu.

3. Pemerintahan Trump tindak keras mereka yang mengkritik tindakan Israel di Gaza

Sejak awal 2025, pemerintahan Trump telah memperketat kebijakan imigrasi, termasuk meningkatkan pemeriksaan media sosial, mencabut visa bagi individu yang dianggap merayakan pembunuhan aktivis konservatif Charlie Kirk, serta mendeportasi pemegang visa pelajar dan kartu hijau yang menyuarakan dukungan bagi warga Palestina atau mengkritik perang Israel di Gaza.

Israel melancarkan operasi militer besar-besaran di Gaza sebagai respons atas serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menewaskan sekitar 1.200 orang di Israel dan menyebabkan 251 lainnya disandera. Sejak itu, lebih dari 68 ribu warga Palestina tewas dan 170 ribu lainnya terluka akibat serangan Israel di Gaza, menurut data dari otoritas kesehatan setempat.

Dilansir dari CNN, Israel mengklaim bahwa serangannya hanya ditujukan terhadap Hamas dan berupaya menghindari korban sipil. Namun, bulan lalu, komisi penyelidikan PBB menilai bahwa Israel telah melakukan genosida di Gaza. Israel membantah tuduhan tersebut.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sonya Michaella
EditorSonya Michaella
Follow Us

Latest in News

See More

Prabowo Pilih Acak Barbuk dari 214,84 Ton Narkoba yang Dimusnahkan

29 Okt 2025, 13:37 WIBNews