Mengapa Israel Menyerang Palestina? Begini Sejarahnya

Jakarta, IDN Times - Konflik antara Israel dan Palestina menjadi salah satu konflik yang paling lama dan paling kejam di dunia. Dilansir BBC, konflik ini telah berlangsung selama lebih dari satu abad, dengan peperangan, pemberontakan, dan berbagai serangan balasan yang tak kunjung berakhir. Pemicu utama konflik ini adalah perebutan tanah, batas wilayah, dan hak atas tanah yang dianggap suci oleh kedua belah pihak.
Hingga kini, perang dan bentrokan terus terjadi, menelan banyak korban jiwa di kedua belah pihak dan mengakibatkan penderitaan yang berkepanjangan bagi rakyat Palestina. Apa yang mengawali terjadinya serangan Israel ke Palestina?
1. Sejarah berdirinya negara Israel

Ada berbagai versi pendapat kapan sebenarnya konflik ini dimulai. Sebagian menganggap akar masalah telah dimulai sejak masa Romawi. Sebagian lainnya menilai masalah dimulai sejak migrasi Yahudi pada akhir abad ke-19 ke wilayah yang saat itu merupakan bagian dari Kekaisaran Ottoman, dilansir The Guardian. Bangsa Yahudi melarikan diri dari penganiayaan di Eropa Timur dan munculnya gerakan Zionisme.
Wilayah Palestina pada awalnya berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman hingga akhir Perang Dunia I, kemudian dikuasai oleh Inggris. Pada 1917, Inggris mengeluarkan Deklarasi Balfour yang mendukung pembentukan “rumah nasional Yahudi” di Palestina. Hal ini memicu ketegangan dengan penduduk Arab yang telah lama tinggal di wilayah tersebut.
BBC mencatat bahwa saat itu, Inggris menyerahkan masalah ini kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada 1947, PBB memilih agar bangsa Palestina dipecah menjadi dua negara, dengan latar belakang kekerasan meningkat antara Yahudi dan negara-negara Arab yang menentang kekuasaan Inggris. Pemimpin Yahudi di Palestina pun mendeklarasikan sebuah negara merdeka yang dikenal sebagai Israel.
Israel pun diakui sebagai negara oleh PBB pada tahun berikutnya.
2. Perang 1948, nakba, dan pendudukan wilayah Palestina

Setelah Israel mendeklarasikan kemerdekaannya pada Mei 1948, timbul perang besar dengan negara-negara Arab di sekitarnya. Sekitar 700 ribu warga Palestina diusir dan melarikan diri dari tanah mereka, peristiwa ini dikenal sebagai Nakba atau “malapetaka”. Hingga kini, peristiwa itu menjadi luka mendalam yang bersejarah bagi rakyat Palestina.
Dengan pasukan baru Israel yang mulai menguasai wilayah tersebut, perjanjian gencatan senjata lahir pada 1949. Pakta itu menetapkan perbatasan de facto baru, yang memberi Israel wilayah jauh lebih luas dibandingkan yang diberikan dalam rencana pembagian wilayah oleh PBB.
Dalam perang enam hari pada 1967, Israel merebut Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur dari negara-negara Arab termasuk Mesir, Suriah, dan Yordania. Perang dimulai ketika Israel, yang khawatir akan diserang oleh Mesir dan Suriah, melancarkan serangan terhadap angkatan udara Mesir.
Ketika pertempuran berakhir, Israel telah merebut Semenanjung Sinai dan Gaza dari Mesir, sebagian besar Dataran Tinggi Golan dari Suriah, serta Yerusalem Timur dan Tepi Barat dari Yordania. Sekitar satu juta warga Palestina di Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur berada di bawah kendali Israel.
Dikutip dari The Guardian, pendudukan ini menjadi pusat konflik berkepanjangan dan sumber penderitaan bagi rakyat Palestina hingga hari ini. Wilayah-wilayah tersebut masih berada di bawah kontrol militer Israel, dengan pemukiman Yahudi yang terus berkembang.
3. Intifada dan lahirnya hamas

Pada 1964, sebuah koalisi kelompok Palestina membentuk Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di bawah kepemimpinan Yasser Arafat. Mereka melancarkan perjuangan bersenjata dan mendirikan negara Arab menggantikan Israel. The Guardian mencatat, PLO merupakan organisasi sekuler yang secara umum meniru gerakan-gerakan gerilya kiri pada masa itu, meskipun sebagian besar pendukungnya adalah muslim.
Kelompok-kelompok Islamis seperti Ikhwanul Muslimin sebelumnya menghindari konflik bersenjata dan lebih banyak berfokus pada upaya membangun masyarakat yang lebih religius. Namun posisi ini berubah di bawah kepemimpinan Sheikh Ahmad Yassin, seorang karismatik penderita quadriplegia yang tinggal di Gaza. Ia membantu mendirikan beberapa organisasi Islamis di Gaza, termasuk Mujama al-Islamiya, yang memperoleh dukungan melalui jaringan layanan sosial seperti sekolah, klinik, dan perpustakaan.
Penderitaan dan diskriminasi yang dialami oleh rakyat Palestina memicu intifada pertama pada 1987. Intifada merupakan sebuah pemberontakan besar-besaran melawan pendudukan Israel. Meski intifada membantu mengukuhkan identitas Palestina dan memaksa Israel untuk bernegosiasi, aksi tersebut dibalas dengan kekerasan dan penindasan yang menelan banyak korban jiwa.
Tak lama setelah pecahnya intifada pertama, Yassin memanfaatkan dukungan terhadap Mujama al-Islamiya sebagai dasar pembentukan Hamas pada 1987 bersama kelompok Islamis lainnya.
Israel selalu membantah bahwa mereka mendorong bangkitnya gerakan Islamis di Gaza, tetapi mereka melihat kelompok-kelompok tersebut sebagai cara untuk melemahkan dukungan terhadap PLO. Israel mengakui Mujama al-Islamiya sebagai lembaga amal, yang memungkinkan organisasi tersebut beroperasi secara bebas dan membangun basis dukungan. Israel juga menyetujui pendirian Universitas Islam Gaza, yang kemudian menjadi tempat tumbuhnya dukungan bagi Hamas.
4. Two-state solution, upaya perdamaian, dan ketegangan yang berlanjut

Solusi dua negara (two-state solution) adalah formula perdamaian yang didukung secara internasional antara Israel dan Palestina. Formula ini mengusulkan pembentukan negara Palestina yang merdeka di wilayah Tepi Barat dan Gaza, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Negara ini akan berdiri berdampingan dengan Israel.
Israel menolak solusi dua negara. Israel menyatakan bahwa penyelesaian akhir harus dicapai melalui negosiasi dengan Palestina, dan status kenegaraan tidak boleh menjadi prasyarat. Otoritas Palestina mendukung solusi dua negara, tetapi Hamas tidak, karena menolak keberadaan negara Israel. Hamas menyatakan bahwa mereka dapat menerima negara Palestina sementara berdasarkan perbatasan de facto dalam kesepakatan 1967, tanpa secara resmi mengakui Israel, asalkan para pengungsi diberikan hak untuk kembali.
Upaya sebelumnya untuk menyelesaikan konflik ini pernah membawa pemimpin Israel dan Palestina menandatangani kesepakatan yang disebut Kesepakatan Damai Oslo pada tahun 1993. Kesepakatan ini dimaksudkan untuk menjadi kerangka kerja bagi perundingan damai. Namun, pembicaraan akhirnya gagal, dengan masing-masing pihak saling menyalahkan.
Proses perdamaian seperti Perjanjian Oslo 1993, sempat menumbuhkan harapan dengan pembentukan Otoritas Nasional Palestina. Namun, masalah mendasar seperti status Yerusalem, pemukiman ilegal, dan hak kembali pengungsi Palestina tidak pernah terselesaikan, yang menyebabkan konflik terus berlanjut hingga kini.