Filipina Bergejolak, Puluhan Ribu Warga Protes Korupsi Dana Banjir

- Kemarahan warga Filipina dipicu oleh pamer kekayaan pasangan pengusaha kaya yang memenangkan kontrak pengendalian banjir.
- Kepolisian Filipina menangkap 72 pengunjuk rasa, menyebabkan bentrokan dan luka-luka di kedua belah pihak.
- Para pengunjuk rasa menuntut penjarakan pejabat dan pengusaha korup, yang berujung pada mundurnya dua pejabat tinggi termasuk sepupu presiden.
Jakarta, IDN Times - Puluhan ribu warga Filipina turun ke jalan di ibu kota Manila dan kota-kota lainnya pada Minggu (21/9/2025). Unjuk rasa massal ini dipicu oleh kemarahan publik atas skandal korupsi besar terkait proyek-proyek pengendalian banjir yang merugikan negara miliaran dolar AS. Massa berkumpul di lokasi-lokasi bersejarah seperti Luneta Park dan EDSA People Power Monument, tempat berlangsungnya revolusi yang menggulingkan ayah dari Presiden Filipina saat ini, Ferdinand Marcos Jr.
Skandal ini pertama kali disorot oleh Marcos Jr. dalam pidato kenegaraannya pada Juli. Saat itu, ia mengungkap adanya anomali di sebagian besar dari 9.855 proyek pengendalian banjir senilai lebih dari 9,5 miliar dolar AS (sekitar Rp157,7 triliun). Filipina sendiri dikenal sebagai negara yang rentan diterjang badai.
“Saya merasa sedih karena kami berkubang dalam kemiskinan dan kami kehilangan rumah, nyawa, dan masa depan kami sementara mereka meraup keuntungan besar dari pajak kami,” kata aktivis mahasiswa Althea Trinidad, dilansir Al Jazeera.
1. Apa penyebab kemarahan warga Filipina?
Kemarahan publik meledak setelah pasangan pengusaha kaya, Pacifico dan Sarah Discaya, yang perusahaannya memenangkan banyak kontrak pengendalian banjir, memamerkan koleksi puluhan mobil mewah mereka di media. Pamer kekayaan yang mencolok ini dianggap sangat tidak pantas di tengah penderitaan rakyat akibat banjir dan kemiskinan yang meluas.
Dalam penyelidikan Senat, perusahaan konstruksi menuduh hampir 30 anggota parlemen serta pejabat Departemen Pekerjaan Umum dan Jalan Raya (DPWH) menerima suap. Kerugian finansial akibat skandal ini sangat besar, dengan perkiraan pemerintah mencapai 2 miliar dolar AS (sekitar Rp33,2 triliun), sementara Greenpeace menyebut angka kerugian bisa mendekati 18 miliar dolar AS (sekitar Rp298,9 triliun), dilansir DW.
Pemilihan tanggal 21 September untuk unjuk rasa juga memiliki arti simbolis. Menurut TIME, tanggal tersebut merupakan peringatan deklarasi darurat militer oleh Ferdinand Marcos Sr. pada 1972, yang memulai periode kediktatoran selama puluhan tahun.
2. Kepolisian Filipina tangkap 72 pengunjuk rasa
Jumlah peserta di Manila diperkirakan mencapai antara 50 ribu orang menurut estimasi pemerintah kota hingga 130 ribu orang menurut klaim penyelenggara. Unjuk rasa ini diikuti oleh berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, kelompok gereja, selebritas, hingga warga biasa dari berbagai latar belakang politik.
Meskipun sebagian besar aksi berlangsung damai, bentrokan pecah di dekat kompleks istana kepresidenan. Sekelompok pengunjuk rasa yang mengenakan masker melemparkan batu ke arah polisi anti huru-hara dan membakar sebuah truk trailer yang dijadikan barikade.
Aparat keamanan merespons dengan menembakkan meriam air untuk membubarkan massa yang dianggap anarkis. Akibat bentrokan tersebut, sedikitnya 39 petugas polisi dilaporkan mengalami luka-luka, sementara beberapa laporan menyebut polisi juga terlihat melempar batu kembali ke arah demonstran.
Pihak berwenang mengonfirmasi telah menangkap hingga 72 orang dalam insiden terpisah, termasuk 20 anak di bawah umur. Sementara, Presiden Marcos Jr. menyatakan dirinya mendukung aksi damai.
“Apakah Anda menyalahkan mereka karena turun ke jalan? Jika saya bukan Presiden, saya mungkin akan berada di jalan bersama mereka,” ujar Marcos Jr., dilansir The Guardian.
3. Sepupu presiden mundur akibat tekanan publik
Para pengunjuk rasa menuntut semua pejabat serta pengusaha yang terlibat korupsi segera dipenjara dan seluruh dana dikembalikan. Mereka membawa spanduk bertuliskan "Cukup sudah, penjarakan mereka," menuntut akuntabilitas tanpa pandang bulu.
Skandal ini telah mengguncang panggung politik Filipina, yang berujung pada pengunduran diri dua pejabat tinggi. Ketua DPR Martin Romualdez, yang merupakan sepupu presiden, dan Presiden Senat Francis Escudero, telah mundur dari jabatan mereka di tengah meningkatnya tekanan publik.
Menanggapi gejolak ini, Marcos Jr. telah membentuk komisi independen untuk menyelidiki proyek-proyek tersebut dan memerintahkan pemeriksaan gaya hidup pejabat. Pengadilan Filipina juga telah membekukan 135 rekening bank yang terkait dengan proyek-proyek yang bermasalah.
"Tujuan kami bukan untuk mengacaukan, tetapi untuk memperkuat demokrasi kita," kata Kardinal Pablo Virgilio David, kepala Konferensi Wali Gereja Filipina.
Gerakan di Filipina ini melanjutkan tren protes antikorupsi yang lebih luas di Asia. Aksi serupa juga terjadi di negara-negara seperti Nepal dan Indonesia


















