Khawatir Resesi Global, Anak Muda AS Pilih Lanjut Kuliah

- Anak muda AS memilih melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana karena ketidakpastian ekonomi dan meningkatnya persyaratan gelar dalam lowongan kerja.
- Ketenagakerjaan masih stabil, tetapi tingkat pengangguran naik menjadi 7,5%, memicu kekhawatiran akan penggantian pekerjaan oleh kecerdasan buatan (AI).
- Perang dagang AS-China memperburuk situasi ekonomi global, dengan perusahaan-perusahaan AS mengalami ketidakpastian akibat tarif impor yang saling dinaikkan. Pemerintahan Trump mendorong perusahaan untuk memindahkan produksi kembali ke AS.
Jakarta, IDN Times – Kekhawatiran akan resesi global dan berkurangnya lapangan kerja mendorong banyak anak muda di Amerika Serikat (AS) untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana. Langkah ini dianggap sebagai pilihan terbaik di tengah ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut.
"Faktor nomor satu yang memengaruhi keputusan mahasiswa untuk melanjutkan kuliah ke jenjang pascasarjana adalah kondisi ekonomi yang memburuk. Mereka merasa bahwa ini bisa menjadi awal yang baik untuk bersiap ketika pasar kerja mulai pulih," ujar Jayson Weingarten, konsultan penerimaan mahasiswa senior di Ivy Coach, seperti dikutip The Straits Times, Minggu (13/4/2025).
Ia memperkirakan bahwa jumlah pelamar ke program pascasarjana mengalami peningkatan yang signifikan tahun ini. Meskipun belum ada data resmi yang diumumkan, sejumlah lembaga konsultan pendidikan memperkirakan tren ini akan terus berlanjut.
1. Gelar pascasarjana kini jadi kebutuhan

Saat ini, ketenagakerjaan di AS masih tergolong stabil. Namun, tingkat pengangguran naik dari 5,5 persen pada April 2023 menjadi 7,5 persen pada Maret 2025. Hal ini memicu kekhawatiran, terutama bagi pekerja kerah putih, karena banyak pekerjaan mulai digantikan oleh kecerdasan buatan (AI).
Di saat yang sama, muncul pula fenomena degree inflation, yaitu meningkatnya persyaratan gelar dalam lowongan kerja, bahkan untuk posisi tingkat pemula, terutama di tengah resesi akibat perang dagang AS dan China.
“Memiliki gelar master kini menjadi syarat minimum untuk melamar banyak pekerjaan,” kata Sarah Thornton, mahasiswa MBA daring di Louisiana State University.
Thornton memutuskan mengambil program pascasarjana di bidang akuntansi setelah sebelumnya menyelesaikan studi sarjana di bidang ilmu kelautan. Ia berharap dengan gelar baru itu, peluangnya untuk mendapatkan pekerjaan akan lebih besar.
"Saya bahkan tidak lagi mendapatkan panggilan wawancara. Rasanya seperti menabrak tembok," ungkapnya.
2. Bertaruh di tengah krisis

Menurut Kristen Willmott, direktur penerimaan pascasarjana di Top Tier Admissions, sebelumnya banyak lulusan sarjana di AS memilih untuk bekerja terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke jenjang berikutnya. Namun, tren tersebut kini mulai bergeser.
Banyak lulusan memilih langsung melanjutkan kuliah karena khawatir terhadap inflasi, tingginya suku bunga, dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda sejumlah industri.
Meski demikian, keputusan ini juga datang dengan risiko besar, terutama bagi mereka yang harus mengandalkan pinjaman pendidikan. Untuk tahun ajaran 2024–2025, suku bunga pinjaman pascasarjana tercatat mencapai 9,08 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan 6,53 persen untuk pinjaman jenjang sarjana.
“Sangat penting untuk memiliki rencana jangka panjang yang jelas. Anda tidak ingin pulang dengan tumpukan utang mahasiswa tanpa tahu arah ke mana karier Anda akan dibawa,” ujar Amit Schlesinger, direktur eksekutif di Kaplan, sebuah firma layanan pendidikan.
Meski begitu, banyak anak muda tetap melanjutkan studi karena merasa tak punya banyak pilihan lain.
3. Perang dagang AS dan China picu ketidakpastian

Situasi ekonomi global turut diperburuk oleh memanasnya kembali perang dagang antara AS dan China. Dalam sepekan terakhir, kedua negara saling menaikkan tarif impor.
Pemerintahan Trump kini mengenakan tarif hingga 145 persen untuk produk asal China, sementara Beijing membalas dengan tarif 125 persen terhadap produk dari AS.
Menurut The Guardian, kebijakan ini membuat banyak perusahaan AS yang bergantung pada produksi di China mengalami ketidakpastian, termasuk Apple. Sebagai respons, pemerintahan Trump terus mendorong perusahaan-perusahaan besar untuk memindahkan fasilitas produksinya kembali ke AS.
Selain China, puluhan negara lain juga dikenakan tarif resiprokal oleh AS. Namun, untuk sementara waktu, pemberlakuan tarif terhadap negara-negara selain China ditangguhkan selama 90 hari.