Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kiprah TPLF, Kelompok yang Diperangi Pemerintah Ethiopia

Sebuah sekolah di ibu kota Mekelle, Tigray, yang menampung lebih dari 2.000 pengungsi akibat konflik yang terbaru. (Twitter.com/UNHCR Ethiopia)

Jakarta, IDN Times - Sejak November 2020, Ethiopia berguncang. Konflik menjadi perang mematikan antara pasukan Tigrayan People's Liberation Front (TPLF) dengan pasukan pemerintah federal Ethiopia yang dipimpin oleh Perdana Menteri (PM) Abiy Ahmed.

Ribuan orang telah meninggal, jutaan kehilangan rumah dan sekitar setengah juta orang lainnya terancam kelaparan. Pasukan militer pemerintah federal Ethiopia memerangi kelompok TPLF yang dicap sebagai kelompok teroris.

Hingga saat ini, konflik tersebut telah memasuki bulan ke sepuluh dan perang masih berkecamuk.

Pada awal Agustus 2021, PM Abiy Ahmed menyerukan kepada semua warga Ethiopia yang sehat untuk bergabung dengan pasukan federal dalam memerangi TPLF, sebuah kelompok gerilyawan-politik yang menguasai regional paling utara Ethiopia.

Seruan itu semakin meningkatkan kekhawatiran internasional, bahwa negara dengan penduduk terpadat kedua di Afrika tersebut akan semakin kacau. Siapa sebenarnya TPLF, yang diperangi pemerintah federal Ethiopia?

1. Terbentuknya kelompok TPLF

Logo kelompok TPLF (Wikimedia.org)

Pada tahun 1930 sampai 1974, Ethiopia dipimpin oleh Kaisar Salam Selassie. Diujung kekuasaanya, dia digulingkan oleh Derg, sebuah kelompok Marxisme-Leninisme yang dapat sokongan dari Uni Soviet.

Kelompok itu dipimpin oleh Mengistu Haile Mariam. Dia menghapus monarki dan melakukan represi signifikan untuk mengendalikan Ethiopia.

Usai kaisar digulingkan, para pemberontak itu membentuk Dewan Administratif Militer Sementara (PMAC) yang memerintah secara militeristik. Mereka menggunakan cara keras untuk mengendalikan stabilitas sesaat setelah kaisar diturunkan dari tahtanya.

Derg memerangi banyak kelompok bersenjata yang berbasis etnis seperti Oromo dan Tigray untuk memperkuat posisinya. Salah satu episode kejam adalah "Teror Merah" yang terjadi pada tahun 1976.

Menurut Jacob Wiebel dalam tulisannya The Ethiopian Red Terror, lebih dari 50.000 orang tewas ditangan penguasa Derg. Mereka ditangkap, disiksa, dicekik, ditenggelamkan, dan "dihilangkan."

Angka pasti korban tidak diketahui. Kemungkinan bahkan lebih dari 50.000 orang. Itu terjadi tidak hanya di kota besar seperti Addis Ababa, tapi juga di kota lain seperti Asmara, yang saat ini jadi ibukota Eritrea.

Pada tahun 1975, di sebuah dataran rendah bagian barat laut wilayah Tigray, dibentuklah Tigrayan People's Liberation Front (TPLF) untuk melawan penguasa junta militer Derg. Mereka bercita-cita menumbangkan penguasa komunis dan membebaskan seluruh wilayah Ethiopia.

2. Kolaborasi TPLF-Eritrea untuk menumbangkan pemerintahan junta militer

Isaias Afwerki, Presiden Eritrea, pada tahun 2002. (Wikipedia.org/Helene C. Stikkel)

Gerilyawan TPLF tersebut bersekutu dengan Eritrean People's Liberation Front (EPLF). Meski sama-sama kelompok gerilyawan yang berusaha menumbangkan Derg, tapi mereka memiliki perbedaan ideologi, taktik militer, dan definisi kebangsaan.

Saat itu, Eritrea masih di bawah kekuasaan Kaisar Salam Selassie, yang itu berarti berada di bawah junta militer Derg ketika kaisar ditumbangkan. EPLF berdiri dengan tujuan untuk memerdekakan wilayahnya sendiri sedangkan TPLF untuk membebaskan seluruh Ethiopia.

Richard Reid di laman Georgetown of Journal International Affairs menjelaskan, TPLF dan EPLF berpisah pada tahun 1980-an dengan diplomasi yang terlihat sopan di permukaan, meski di dalamnya ada bara api.

Secara jelas, Reid menulis bahwa EPLF ini membantu mendirikan TPLF dan melatih para pejuangnya. TPLF menganggap rekan-rekan Eritrea angkuh persoalan perbatasan wilayah, yang nanti di masa depan jadi sumber konflik. Sengketa perbatasan itu akan jadi sumber perang mematikan selama 20 tahun (1998-2018).

Gerilyawan Tigray berhasil memobilisasi banyak pasukan dan mendapatkan bantuan dari para petani. Salah satu pejuang TPLF tersebut yang memiliki posisi penting adalah Debretsion Gebremichael.

Debretsion bertugas sebagai operator komunikasi nirkabel dan propagandis. Saat ini, Debretsion Gebremichael adalah veteran yang memimpin TPLF dan melawan PM Abiy Ahmed. 

TPLF dalam perjuangannya, pada akhirnya berhasil membebaskan sebagian besar wilayah Ethiopia. Pada tahun 1989, Derg secara resmi bubar tapi Mengistu Haile Mariam tetap memimpin Ethiopia.

TPLF berkolaborasi dengan kelompok etnis lainnya seperti Partai Demokrat Amhara (ADP), Partai Demokrat Oromo (ODP) dan Gerakan Demokratik Rakyat Ethiopia Selatan (SEPDM) membentuk Ethiopian People's Revolutionary Democratic Front (EPRDF) untuk mengalahkan junta.

Pada tahun 1991, EPRDF menggulingkan Mengistu Haile Mariam dan kemudian memerintah Ethiopia sampai tahun 2018.

Mengistu Haile Mariam dan keluarganya, berhasil melarikan diri ke Zimbabwe ketika digulingkan. Haile Mariam mati pada tahun 2017.

Sejak kemenangan tahun 1991 itu, menurut Britannica, kekuasaan yang sebelumnya didominasi etnis Amhara di Ethiopia mulai disingkirkan, dan digantikan oleh TPLF yang etnis Tigray.

Di sisi lain, di bagian utara wilayah Tigray, EPLF membebaskan Eritrea dan berhasil menjadi negara serta mendapatkan pengakuan internasional pada tahun 1993 dengan ibu kota Asmara.

3. Sebab lain terbentuknya TPLF

Pesawat British Royal Air Force dalam operasi di Afrika Utara (Wikimedia.org/Royal Air Force official photographer)

Tapi kemunculan TPLF tidak hanya dipicu oleh kekuatan pemerintah junta militer Derg. Jauh sebelum itu, orang-orang Tigray sudah merasa selalu dimarginalkan oleh kaisar penguasa.

Kaisar Salam Selassie menggunakan sistem pemerintahan sentralistik yang membuat daerah-daerah pinggiran seperti Tigray tidak maju karena kebijakan yang tidak adil.

Aregawi Berhe yang menulis The Origins of the Tigray People's Liberation Front dalam jurnal African Affairs tahun 2004 menjelaskan, bahwa para petani di Tigray sangat kecewa dengan kebijakan kaisar.

Pada tahun 1942-1943, para petani itu memberontak dengan kelompok yang bernama Woyane yang berarti "pemberontakan." Tapi kaisar yang berkolaborasi dengan Bristish Royal Air Force (RAF) memadamkannya.

Pada tahun itu, Aregawi Berhe yang jadi salah satu pendiri TPLF mengaku, RAF menjatukan 116 bom yang menewaskan sekitar 7.000 orang. Ibu kota Mekelle disebut hancur oleh serangan itu.

"Ingatan pengeboman RAF di Mekelle atas nama Pemerintah Kaisar Haile Selassie, menjadi keluhan yang berakar pada ingatan populer (Tigrayan)," tulis Berhe.

Tahun 1943, upaya pemberontakan kaum tani dari Tigray luluh lantak dengan tindakan brutal kekaisaran. Peristiwa itu jadi ingatan yang sulit dilupakan.

TPLF sendiri terbentuk juga meminjam dasar semangat Marxis-Leninis, memuliakan petani untuk menumbangkan para perwira Derg yang juga komunis.

4. Dominasi politik TPLF dan perang dengan Eritrea

Meles Zenawi, Pemimpin Ethiopia dari 1991-2012. (Wikimedia.org/World Economic Forum)

Gabungan multi etnis dalam EPRDF yang berhasil menumbangkan Derg akhirnya berhasil menguasai Ethiopia. Pemimpin EPRDF saat itu adalah Meles Zenawi, yang berasal dari TPLF.

Melese Zenawi menjadi Presiden Ethiopia dari tahun 1991 sampai 1995. Setelah itu, dia menjadi Perdana Menteri Ethiopia dari tahun 1995 sampai tahun 2012.

Debretsion Gebremichael yang sebelumnya sudah disinggung, menjadi salah satu orang kepercayaan Zenawi. Debretsion diangkat menjadi wakil kepala badan intelijen nasional, dan kemudian menteri komunikasi dan teknologi informasi.

Jabatan-jabatan penting lain juga banyak yang dipegang oleh orang dari kelompok TPLF. Dengan pelan, etnis lain sebenarnya menyimpan ketidakpuasan atas dominasi politik TPLF ini.

Tapi di bawah kepemimpinan Zenawi, Ethiopia berubah menjadi salah satu negara Afrika yang berkembang dengan pesat.

Melansir The Guardian, investasi infrastruktur dilakukan secara besar-besaran, kesuksesan ekonomi yang menakjubkan, dan bencana kelaparan tahun 1983-1985 di Ethiopia, hampir punah ketika Zenawi memimpin.

Ibukota Mekelle di Tigray juga berkembang pesat. Jalan-jalan rapi dan saluran listriknya membuktikan banyak sumber daya Ethiopia yang disalurkan ke kubu daerah Tigrayan atau TPLF.

Selama Zenawi memimpin Ethiopia, dia bentrok dengan Isaias Afwerki, Presiden Eritrea, yang dahulu pernah berkolaborasi bersama menumbangkan Derg.

Perang Ethiopia-Eritrea terjadi mulai 6 Mei 1998, yang memperebutkan wilayah Badme. Wilayah itu berada di bagian utara Tigray di bawah pemerintahan Ethiopia dan berbatasan dengan Eritrea. Perang besar menular di daerah perbatasan lain. 

Menurut New World Encyclopedia, perang sempat jeda karena ada upaya damai yang diinisiasi pihak ketiga, yakni AS/Rwanda. Namun upaya damai gagal. Pada Mei 2000, pasukan Ethiopia telah menduduki sekitar seperempat wilayah Eritrea.

Pada tahun ini, Eritrea terlihat kalah. Sekitar 650.000 orang tergusur dan menjadi pengungsi. Korban jiwa dari kedua belah pihak beragam. Ada yang mengatakan 70 ribu tewas, tapi ada juga yang mengatakan korban tewas 100 ribu orang.

Upaya perdamaian kembali dilakukan. Komisi Perbatasan dibentuk berdasarkan Perjanjian Aljazair pada tahun 2002. Dalam Arbitrase Den Haag, Eritrea dianggap bersalah karena memicu konflik yang luas.

Tapi wilayah Badme yang tadinya milik Ethiopia, diberikan kepada Eritrea karena Ethiopia dianggap melanggar aturan sebab tidak menerima keputusan Komisi Perbatasan.

Kedua negara kembali memobilisasi pasukan di dekat perbatasan masing-masing secara besar-besaran karena tidak puas dengan putusan tersebut. Bahkan Ethiopia dan Eritrea juga memboikot Komisi Perbatasan di Den Haag pada tahun 2006.

Setelah itu, ketegangan antar dua negara tetap terjadi meski tidak ada eskalasi kekerasan masif seperti pada tahun-tahun sebelumnya.

5. Pudarnya TPLF dan munculnya Abiy Ahmed

PM Ethiopia, Abiy Ahmed. (Twitter.com/Abiy Ahmed Ali)

Meles Zenawi meninggal secara mendadak pada tahun 2012. Dia digantikan oleh Wakil Perdana Menteri Hailemariam Desalegn yang berasal dari etnis Welayta, salah satu etnis di Ethiopia bagian selatan.

Namun selama Zenawi memimpin, sudah ada tumpukan ketegangan atas ketidakpuasan pemerintahan yang didominasi oleh TPLF. Dan kepemimpinan Desalegn tak terlalu kuat untuk mengatasi ketegangan yang sudah menumpuk itu.

Masa kepemimpinan Desalegn mendapat tekanan selama bertahun-tahun dari Oromo Youth Movement yang meminta reformasi politik dan birokrasi. Desalegn mengundurkan diri setelah pemogokan secara besar-besaran terjadi di seluruh negeri.

Pada akhirnya, koalisi EPRDF memilih Abiy Ahmed pada tahun 2018, seorang lelaki kharismatik yang lahir dari rahim ibu Amhara dan ayah Oromo. Dia berasal dari Oromo People's Democratic Organization (OPDO), salah satu anggota koalisi EPRDF dan kemudian menjadi Perdana Menteri Ethiopia.

Abiy Ahmed menjanjikan serangkaian reformasi lintas bidang, dari mulai politik sampai ekonomi. Naiknya Abiy Ahmed inilah yang akhirnya dengan pelan membuat TPLF dari etnis Tigray akan tersingkir.

Pada tahun 2019, dia membentuk Partai Kemakmuran, koalisi dari tiga partai EPRDF. TPLF memilih untuk tidak bergabung dengan koalisi tersebut. Di tahun yang sama, Abiy Ahmed juga dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian.

Hal yang mendasari Abiy mendapat Nobel Perdamaian itu, selain serangkaian agenda reformasi dalam negeri, ia juga melakukan manuver luar negeri yakni ke Eritrea.

Perdana Menteri Abiy Ahmed  bertemu dengan Presiden Eritrea dan berdamai dengan negara tetangganya itu. Sehingga secara mengejutkan, perang mematikan dan ketegangan selama 20 tahun antara dua negara itu pudar seketika.

Selain itu, kepemimpinan Abiy Ahmed juga membuat beberapa pejabat penting dari etnis Tigray kemudian tersingkir (atau mungkin disingkirkan). Naiknya Abiy Ahmed sebagai Perdana Menteri Ethiopia, memunculkan bara baru dengan mantan penguasa TPLF yang mulai memudar.

6. TPLF berperang dengan pemerintahan Abiy Ahmed

Debretsion Gebremichael, salah satu pemimpin TPLF saat ini. (Wikimedia.org/Miki Sollo)

Ketika Abiy Ahmed naik ke puncak kekuasaan Ethiopia, dia bergerak cepat. Banyak pejabat dari TPLF yang dicopot, beberapa jenderal juga dijebloskan ke penjara karena tuduhan korupsi.

Pada tahun 2020, menurut The Guardian, pemilu secara nasional ditunda dengan alasan merebaknya virus corona. Meski demikian, TPLF tetap melanjutkan pemilihan lokal di Tigray pada September 2020.

Keputusan itu menimbulkan ketegangan secara terbuka dengan pemerintah pusat yang dipegang oleh Abiy Ahmed dan menuduh TPLF melanggar konstitusi.

Gesekan yang menimbulkan percikan api muncul pada awal November 2020. Abiy Ahmed menuduh pasukan TPLF melakukan serangkaian serangan di pangkalan pasukan militer federal dan mencuri persenjataan.

Pada 4 November 2020, pemimpin Ethiopia yang mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian itu mengumumkan operasi militer untuk menaklukkan Tigray dan sehari sebelumnya, TPLF dimasukkan dalam daftar "organisasi teroris."

Secara cepat, regional Tigray, bagian ujung utara Ethiopia, segera dikunci. Jalur transportasi diblokade, jalur telekomunikasi diputus, dan serangan dilancarkan.

Dalam perang yang kemudian terjadi, pasukan Eritrea dari negara tetangga disebut telah menyeberang ke Tigray dan membantu pasukan federal Etiopia untuk menumpas TPLF.

Pasukan regional Amhara juga disebut membantu pasukan federal Ethiopia untuk memerangi TPLF.

Tanggal 28 November 2020, Abiy Ahmed mengumumkan operasi militer selesai setelah pasukan militer federal menaklukkan ibukota Mekelle, Tigray. Tapi pemimpin TPLF, Debretsion Gebremichael, mengatakan tidak akan menyerah.

Melansir Reuters, para diplomat dan pakar regional mengatakan bahwa kemenangan militer yang cepat mungkin tidak menandakan akhir dari konflik.

Karena TPLF adalah gerilyawan yang dibentuk sejak tahun 1975, dengan pengalaman pertempuran luar biasa, dan mampu memobilisasi massa dalam jumlah banyak serta menjadi kekuatan utama yang bisa menumbangkan rezim junta militer Derg.

7. Dampak konflik TPLF dan pasukan militer Ethiopia

Sekjen PBB, Antonio Guterres. (Twitter.com/Kenneth Roth)

Apa yang diperkirakan para diplomat, pengamat dan pakar regional itu betul adanya. Delapan bulan sejak pasukan militer federal Ethiopia menguasai ibukota Mekelle, TPLF kembali merebutnya pada bulan Juni 2021.

Sejak itu, TPLF secara signifikan melebarkan sayap serangan, mengambil alih kembali kota-kota yang ditaklukkan di Tigray, dan bahkan konflik menyeberang ke regional Afar di timur dan Amhara di barat.

Sampai saat ini, perang masih terjadi dan PBB menyerukan dua belah pihak untuk berdamai.

Dampak perang TPLF dengan pemerintah Ethiopia sangat memprihatinkan. Menurut UNHCR, badan pengungsi PBB, lebih dari 40 ribu Tigrayan mengungsi ke Sudan.

Melansir BBC, lebih dari dua juta Tigrayan meninggalkan rumah mereka. Kini ratusan ribu pengungsi terancam kelaparan dan banyak ibu hamil serta anak-anak mengalami gizi buruk.

Baik TPLF maupun Ethiopia sama-sama dituduh telah melakukan serangkaian pelanggaran kemanusiaan. Pejabat Eritrea dimasukkan dalam daftar hitam oleh pemerintah AS karena dituduh mengirim pasukannya menyeberang ke Tigray dan membantu pasukan Ethiopia.

Dalam kabar yang terbaru, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, pada 26 Agustus 2021, bertemu dengan Dewan Keamanan (DK). Dia memperingatkan "bencana kemanusiaan sedang berlangsung di depan mata kita," katanya seperti dikutip Reuters.

Guterres meminta DK melakukan intervensi dan mengajak TPLF dan Ethiopia untuk menemukan solusi perundingan dengan gencatan senjata abadi. Dia menekankan solusi militer seperti perang tidak akan bisa menyelesaikan masalah.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pri Saja
EditorPri Saja
Follow Us