Menanti Aksi Nyata Usai KTT MIKTA 2025 di Afrika

- Sementara, bagi Indonesia, MIKTA adalah forum strategis untuk memperkuat diplomasi multilateral di tengah semakin rentannya prinsip-prinsip kerja sama global.
- Para pemimpin bertekad untuk melanjutkan koordinasi erat antara negara-negara anggota dan memperkuat peran konstruktif MIKTA dalam membentuk tatanan internasional yang lebih aman, adil, setara, dan berkelanjutan.
- Butuh pemimpin karismatik untuk mengoptimalkan forum MIKTA Mereka bisa mengoptimalkan forum ini dengan tetap fokus di satu bidang
Jakarta, IDN Times - Pertemuan puncak KTT MIKTA (Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki dan Australia) sudah berlangsung pada November 2025 lalu di Johannesburg, Afrika Selatan. Secara mengejutkan, KTT itu tidak dihadiri langsung oleh Presiden Prabowo Subianto. Untuk kali pertama, Prabowo memberikan panggung internasional bagi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Putra sulung Presiden ke-7 Joko "Jokowi" Widodo itu bahkan juga mewakili Indonesia di KTT G-20 yang dihelat di lokasi yang sama. Penyelenggaraan KTT MIKTA memang kerap diadakan di sela-sela KTT G-20.
MIKTA adalah forum kerja sama lima negara kekuatan menengah di sejumlah benua, yaitu Meksiko, Indonesia, Korea Selatan, Turki, dan Australia. Lahir pada September 2013, forum ini bertujuan untuk menjembatani kelompok negara maju dan negara berkembang.
Tahun ini Korea Selatan menjadi ketua kerja sama tersebut. Salah satu isu penting yang diangkat di bawah kepemimpinan Negeri Ginseng adalah pemberdayaan anak muda.
"Generasi muda berperan dalam mengatasi tantangan global yang kompleks serta membangun masyarakat yang inklusif, tangguh, dan berwawasan ke depan. Dari advokasi iklim hingga inovasi teknologi, mereka memimpin perubahan transformatif di seluruh dunia," ujar Kuasa Usaha Kedutaan Besar Korea Selatan untuk Indonesia, Park Soo-deok ketika berbicara di sesi dialog dengan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dengan tema MIKTA at a Crossroads: Middle Power Diplomacy in a Fragment World beberapa waktu lalu di Jakarta.
Apakah kepentingan Indonesia sudah terwakilkan lewat KTT MIKTA lalu?
1. Realisasi kerja sama di MIKTA masih minim

Sementara, bagi Indonesia, MIKTA adalah forum strategis untuk memperkuat diplomasi multilateral di tengah semakin rentannya prinsip-prinsip kerja sama global. "Kami percaya bahwa MIKTA merupakan forum strategis untuk membahas isu-isu strategis. MIKTA tak hanya berbicara dimensi politik, tapi juga ekonomi, sosial, dan isu lainnya," ujar Direktur Pembangunan, Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri, Tri Purnajaya.
Meskipun visi MIKTA besar, realisasi kerja samanya dinilai masih terbatas. Selama lebih dari satu dekade sejak dibentuk, MIKTA belum memiliki forum bisnis, bahkan dalam kerja sama ekonomi belum ada inisiatif transaksi mata uang lokal antarnegara anggota.
"Itu sebabnya saya pikir perlu ada yang lebih konkret," kata dia.
Namun, ia melihat kekosongan ini sebagai peluang. "Saya memiliki harapan MIKTA mempunyai keinginan untuk lebih besar, termasuk dalam kerja sama ekonomi, perdagangan, dan investasi," imbuhnya.
Ketua FPCI, Dino Patti Djalal pun memiliki pendapat senada. Ia menyoroti pentingnya tujuan bersama dalam setiap forum internasional, agar tak sekadar menjadi forum diskusi tanpa daya pengaruh.
“Dengan tujuan bersama, pergerakan menjadi lebih cepat dan bermakna, karena ada landasan kuat untuk tetap bersatu dan melangkah maju,” ujar Dino.
2. Pernyataan bersama MIKTA cerminkan kekhawatiran kebijakan tarif Trump

Sementara, di dalam pernyataan bersama, para pemimpin MIKTA menyatakan keprihatinan tentang meningkatnya volatilitas ekonomi. Meskipun komunike tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan sumber kecemasan, pemerintah dan analis di seluruh dunia telah berulang kali memperingatkan tentang dampak luas dari peningkatan langkah-langkah tarif Presiden AS Donald Trump.
Pernyataan itu mengutip "keprihatinan mendalam atas tantangan kompleks dan beragam yang dihadapi masyarakat internasional. Hal itu merujuk pada ketegangan geopolitik yang berkelanjutan, ketidakpastian ekonomi global, gangguan rantai pasok, kemiskinan dan ketidaksetaraan, berbagai krisis lingkungan termasuk perubahan iklim, dan laju transformasi digital yang semakin cepat.
Menurut kelompok MIKTA, risiko-risiko yang saling bertemu ini memperkuat kebutuhan untuk memperkuat multilateralisme dan kerja sama internasional.
"Para pemimpin bertekad untuk melanjutkan koordinasi erat antara negara-negara anggota dan memperkuat peran konstruktif MIKTA dalam membentuk tatanan internasional yang lebih aman, adil, setara, dan berkelanjutan," kata dokumen itu.
3. Butuh pemimpin karismatik untuk mengoptimalkan forum MIKTA

Sementara, dari sudut pandang pakar hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, tak masalah forum pemimpin MIKTA diwakili oleh Gibran. Sebab, posisinya sebagai wakil presiden mewakili Indonesia di forum multilateral itu.
"Yang penting pertemuan pemimpin tingkat tinggi MIKTA itu tetap terjalin. Paling tidak itu menjadi modal psikologis untuk masa depan. Sudah ketemu saja sudah syukur, walaupun yang hadir ada yang top leader atau second top leader. Dengan adanya pertemuan itu maka bisa tercipta keyakinan hubungan antar negara baik-baik saja," ujar Reza kepada IDN Times pada Senin (29/12/2025).
Tetapi, ia mengusulkan agar para pemimpin di MIKTA termasuk dari Indonesia untuk menindaklanjuti 17 tujuan pembangunan berkelanjutan atau yang disebut Sustainable Development Goal (SDGs). Para pemimpin bisa mendata di mana pencapaian mereka masing-masing.
"Selain itu, didata di mana mereka memiliki keuntungan kompetitif dan komparatif. Dari sana, bisa terlihat di mana kelemahan masing-masing negara dan masih bisa dibantu," tutur dia.
Permasalahannya, masing-masing negara kini tengah dirundung isu domestik. Dalam kasus Indonesia, tengah dirundung bencana yang tak berkesudahan. Maka, dibutuhkan pemimpin karismatik untuk kembali mengingatkan tujuan SDGs itu di MIKTA.
"Di antara lima pemimpin negara MIKTA itu siapa yang bisa? Ya, Pak Prabowo lah yang seharusnya punya desk MIKTA di Kemlu. Sayangnya, Pak Prabowo tidak hadir," katanya.
Ia pun menilai wajar bila MIKTA meski sudah dibentuk lebih dari satu dekade dianggap forum yang tidak memberikan manfaat secara signifikan. Tapi, forum multilateral itu tetap dibutuhkan.
"Mereka bisa mengoptimalkan forum ini dengan tetap fokus di satu bidang, misalnya SDG. Misalnya masing-masing negara pegang berapa tujuan SDG. Masalahnya butuh pemimpin karismatik untuk mengkomunikasikan itu," imbuhnya.


















