Menelusuri Sejarah Konflik dan Upaya Perdamaian Israel-Palestina

- Rencana Pembagian PBB pada tahun 1947 menjadi titik awal konflik terbuka antara komunitas Yahudi dan Arab, mengakibatkan perang besar dan pengungsi Palestina.
- Perjanjian Oslo tahun 1993 menjadi tonggak penting, namun serangkaian peristiwa membuat proses perdamaian kembali terhenti. Abraham Accords pada tahun 2020 menormalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab.
- Serangan besar Hamas pada 7 Oktober 2023 memicu kecaman internasional dan penyelidikan oleh Mahkamah Pidana Internasional. Banyak pihak masih menyerukan gencatan senjata dan perundingan damai.
Jakarta, IDN Times – Konflik antara Israel dan Palestina telah menjadi salah satu sengketa terpanjang dan paling kompleks dalam sejarah modern. Wilayah sengketa yang terbentang antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania ini menjadi sumber ketegangan sejak awal abad ke-20, dipicu oleh klaim kenegaraan dari dua pihak yang sama-sama menganggap tanah tersebut sebagai miliknya.
Dikutip dari CFR Education, konflik ini berakar dari keputusan PBB tahun 1947 yang membagi wilayah Palestina menjadi dua negara yaitu, Yahudi dan Arab yang justru memicu gelombang kekerasan dan perang berulang di Timur Tengah. Menurut analis Timur Tengah, Dr. Fadi al-Khatib, konflik ini tidak hanya berkisar pada perebutan wilayah, tetapi juga menyangkut identitas, agama, dan politik global.
“Selama kedua belah pihak masih melihat tanah itu sebagai simbol eksistensi, perdamaian sejati akan sulit dicapai,” ujarnya. Meskipun berbagai perjanjian damai telah diupayakan, seperti Camp David (1979), Oslo (1993), hingga Abraham (2020), akar konflik belum benar-benar terselesaikan.
1. Akar dari sejarah panjang konflik

Rencana Pembagian PBB pada 1947 menjadi titik awal dari konflik terbuka antara komunitas Yahudi dan Arab. Setelah Israel mendeklarasikan kemerdekaannya pada Mei 1948, perang besar pun pecah, mengakibatkan lebih dari 700 ribu warga Palestina mengungsi dari tanah kelahirannya, peristiwa ini dikenal sebagai Nakba. Israel berhasil memperluas wilayahnya, sementara Palestina kehilangan sebagian besar tanah yang dijanjikan oleh resolusi PBB.
Seiring berjalannya waktu, perang-perang besar seperti Perang Enam Hari (1967) dan Yom Kippur (1973) memperdalam luka kedua bangsa. Israel berhasil menguasai wilayah strategis seperti Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza. Resolusi PBB 242 kemudian menyerukan penarikan pasukan Israel dan penghormatan atas kedaulatan masing-masing negara, namun pelaksanaannya tidak pernah sepenuhnya terwujud.
2. Upaya perdamaian dan tantangannya

Perjanjian Oslo pada 1993 menjadi tonggak penting karena untuk pertama kalinya Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) saling mengakui secara resmi. Kesepakatan tersebut melahirkan Otoritas Palestina dan memberi harapan baru bagi perdamaian. Namun, serangkaian peristiwa seperti Intifada, perluasan pemukiman Israel, dan konflik politik internal Palestina membuat proses perdamaian kembali terhenti.
Dalam dekade terakhir, muncul perjanjian baru seperti Abraham Accords pada tahun 2020, yang menormalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab. Namun, bagi rakyat Palestina, normalisasi ini dianggap mengabaikan perjuangan mereka untuk kemerdekaan penuh. Seorang diplomat PBB, Maria Estevez, menilai bahwa upaya perdamaian akan selalu rapuh selama solusi dua negara tidak dijalankan dengan adil.
3. Krisis terkini dan harapan masa depan

Serangan besar Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 menjadi babak baru yang mengguncang dunia. Ribuan korban jiwa dan kehancuran di Gaza menegaskan bahwa perdamaian masih jauh dari kenyataan. Tindakan balasan Israel memicu kecaman internasional dan penyelidikan oleh Mahkamah Pidana Internasional terhadap dugaan pelanggaran hukum perang oleh kedua pihak.
Meski situasi terus memanas hingga 2024 dengan meningkatnya ketegangan di Lebanon, banyak pihak internasional masih menyerukan gencatan senjata dan perundingan damai. Harapan akan perdamaian sejati kini bergantung pada kemauan politik, empati kemanusiaan, dan pengakuan terhadap hak hidup damai kedua bangsa di tanah yang sama.