Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Minta Kebebasan, Pengungsi di Pulau Tahanan Australia Jahit Bibir

kamp penahanan di pulau Manus (commons.wikimedia.org)

Jakarta, IDN Times - Dua pengungsi di negara pulau kecil Nauru, Mohammad Shofiqul Islam dan Mohammad Kaium, menjahit bibir mereka sebagai bentuk protes atas penahanannya selama hampir satu dekade di pulau tersebut.

Melansir Al Jazeera, sejak Juli 2013, Australia telah menjadikan Nauru sebagai pusat penahanan bagi pencari suaka yang mencoba memasuki negaranya dengan perahu. Sebagian lainnya juga dikirim ke Pulau Manus di Papua Nugini. Mereka tidak diberikan peluang untuk menetap di Australia oleh pemerintah, meskipun berstatus pengungsi.

Nauru berjarak 3 ribu kilometer dari daratan Australia, sedangkan Pulau Manus terletak 300 kilometer sebelah utara pulau utama Papua Nugini. Ada sekitar 150 pengungsi dan pencari suaka saat ini yang berada di kedua pulau tanpa tahu kapan akan dimukimkan kembali.

1. Mogok makan dan minum

Shofiqul Islam mengatakan kepada Al Jazeera bahwa dirinya dan Kaium telah berhenti makan dan minum setelah menjahit bibir sebagai bentuk protes.

“Kami menjahit bibir dan kami (telah) berhenti makan dan minum, kami tidak dapat berbicara. Kami tidak makan dan tidak minum sampai kami mendapatkan perawatan medis dan kebebasan," kata Shofiqul Islam. 

Pada 2013, kedua pria tersebut melakukan perjalanan secara terpisah dari Bangladesh ke Australia untuk mencari perlindungan dari kekerasan yang terjadi di negara asal mereka. Namun, kapal mereka dicegat oleh angkatan laut Australia dan akhirnya mereka dikirim ke Nauru.

Meski sejak 2015 pengungsi dan pencari suaka di Nauru telah ditahan di komunitas pulau yang lebih luas, namun Shofiqul Islam mengungkapkan bahwa situasi di sana tidaklah aman.

“Di sini di Nauru, perawatan medis sangat buruk. Dan kami tidak aman di sini. Orang-orang di sini, mereka tidak suka pengungsi. Mereka membenci kita," tuturnya. 

2. Menagih kebebasan

Selama lebih dari tiga tahun, Shofiqul Islam telah mengurus permohonan pemukiman kembali di Amerika Serikat (AS). Meski begitu, sampai saat ini dirinya dan Kaium tetap tidak tahu kapan mereka akan menghirup udara bebas.

“Kami membutuhkan perawatan medis dan kebebasan. Kami ingin keadilan,” tulisnya.

“Mengapa kami harus berada di limbo selama 10 tahun meski tidak melakukan kejahatan? Hati kami hancur sekarang, kami tidak tahan lagi. Tolong bantu kami untuk mendapatkan kebebasan kami," curhatnya.

Mengutip Refugee Action Coalition, upaya untuk memukimkan kembali para pengungsi di negara ketiga terbilang sangat lambat dan sulit. Sebagian besar negara menolak kebijakan Australia yang dianggap melanggar HAM.

3. Berdampak pada kesehatan mental pengungsi

Pengungsi dan pencari suaka menghabiskan hampir 10 tahun dalam ketidakpastian akibat kebijakan penahanan lepas pantai Australia. Hal ini berdampak ekstrem bagi mereka yang tinggal di kamp-kamp tahanan.

Selain layanan medis yang terbatas, masalah kesehatan mental juga menjadi isu yang serius. Perilaku menyakiti diri sendiri dan bunuh diri dilaporkan terjadi di antara anak-anak yang ditahan di sana.

Refugee Action Coalition menyebut, penahanan lepas pantai dirancang sedemikian brutal agar menimbulkan keputusasaan dan mendorong para tahanan untuk kembali ke tanah air mereka. Adapun 12 pengungsi dan pencari suaka disebut telah meninggal di sana.

Juru bicara Departemen Dalam Negeri Australia menolak mengomentari kasus Shofiqul Islam dan Kaium. Ia pun membantah soal pulau Nauru yang tidak memiliki akses kesehatan.

4. Kebijakan imigrasi ketat dinilai untuk menangkan suara

Penulis, mantan pengungsi dan komentator politik, Behrouz Boochani, menuding Partai Buruh Australia berbohong tentang alasan mereka menahan pengungsi di Nauru dan Mauru.

Secara resmi, penahanan lepas pantai bagi para pengungsi dan pencari suaka yang tiba dengan perahu ke Australia merupakan cara untuk mencegah penyelundupan manusia.

“Tapi itu hanya sesuatu yang mereka (gunakan) untuk membenarkan kekejaman ini,” kata Behrouz.

Ia menjelaskan bahwa kedua partai politik utama Australia, Partai Buruh dan Partai Liberal, berusaha menciptakan ketakutan terhadap pencari suaka yang masuk lewat laut. Kebijakan imigrasi tersebut dilakukan demi memenangkan suara.

“Mereka menyembunyikan diri di balik keamanan nasional. Percayalah, tidak akan terjadi apa-apa jika mereka membebaskan (para pengungsi di Nauru)," kata Boochani.

Behrouz, yang pernah ditahan selama 6 tahun di Manus sebelum mencari perlindungan di Selandia Baru, juga mengatakan ada banyak uang yang harus dikeluarkan untuk menahan pengungsi dan pencari suaka.

Dia menyebut kontrak senilai 420 juta dolar Australia yang disepakati awal tahun ini antara pemerintah dengan operator penjara swasta AS, Perusahaan Manajemen dan Pelatihan (MTC) demi menjalankan layanan kesejahteraan di Nauru.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Vanny El Rahman
EditorVanny El Rahman
Follow Us