Negosiasi Internasional Polusi Plastik di Jenewa Berakhir Buntu

- Koalisi Ambisi Tinggi dorong pengurangan produksi plastik dan penghapusan bahan kimia beracun, sementara kelompok Like-Minded menilai pembatasan produksi di luar ruang lingkup perjanjian.
- Negara-negara rentan menyampaikan kekecewaan atas ketimpangan beban yang harus ditanggung komunitas mereka, sementara delegasi Kolombia menuding adanya negara yang terus menghalangi kesepakatan.
Jakarta, IDN Times – Perundingan internasional untuk membuat perjanjian bersejarah dalam mengatasi polusi plastik resmi berakhir tanpa kesepakatan di Jenewa pada Jumat (15/8/2025). Kebuntuan di putaran keenam dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun ini membuat jalan keluar belum terlihat meski upaya intensif hingga larut malam dilakukan.
Pertemuan yang digelar Komite Perundingan Antar-Pemerintah (INC) bentukan Majelis Lingkungan PBB (UNEA) pada 2022 ini dihadiri lebih dari 1.000 delegasi dari setidaknya 180 negara.
Menteri Transisi Ekologis Prancis, Agnès Pannier-Runacher, meluapkan kekecewaan mendalam.
“Saya kecewa, dan saya marah. Segelintir negara, yang dipandu oleh kepentingan finansial jangka pendek daripada kesehatan penduduk mereka dan keberlanjutan ekonomi mereka, menghalangi adopsi perjanjian ambisius melawan polusi plastik,” ujarnya, dikutip dari Euro News.
Ia menilai perilaku tersebut membuat peluang lahirnya kesepakatan ambisius menjadi hilang.
1. Perbedaan pandangan soal batas produksi plastik
Perbedaan utama yang memecah delegasi adalah apakah perjanjian harus membatasi produksi plastik baru atau hanya fokus pada pengelolaan limbah. Koalisi Ambisi Tinggi, yang mencakup Uni Eropa (UE), Inggris, Kanada, serta banyak negara Amerika Latin dan Afrika, mendorong pengurangan produksi plastik dan penghapusan bahan kimia beracun.
Sementara itu, kelompok Like-Minded beranggotakan negara produsen minyak seperti Arab Saudi, Kuwait, Rusia, Iran, dan Malaysia, menilai pembatasan produksi di luar ruang lingkup perjanjian.
Ketua INC, Luis Vayas Valdivieso, sempat mengajukan dua rancangan teks perjanjian yang mencerminkan pandangan negara-negara, namun 184 delegasi menolak keduanya sebagai dasar negosiasi.
Draf terbaru yang dirilis pada Jumat dini hari mengakui produksi dan konsumsi plastik saat ini tidak berkelanjutan dan melampaui kapasitas pengelolaan limbah, sehingga memerlukan aksi global. Meski begitu, draf itu tidak memuat batas produksi, yang menurut Arab Saudi dan Kuwait lebih mencerminkan pandangan beragam sekaligus tetap mengatasi masalah tanpa menyentuh isu yang mereka anggap tidak relevan.
2. Negara rentan rasakan dampak kegagalan perundingan
Negara-negara rentan menyampaikan kekecewaan mendalam atas kegagalan ini.
“Tidak adil bagi [negara-negara kami] untuk menghadapi dampak terbesar dari krisis lingkungan global lain yang kami sumbang sangat sedikit,” ujar Palau, mewakili 39 negara kepulauan kecil berkembang dikutip dari Al Jazeera.
Pernyataan itu menegaskan ketimpangan beban yang harus ditanggung komunitas mereka.
Tuvalu, yang berbicara mewakili 14 negara kepulauan Pasifik, juga mengingatkan ancaman berkelanjutan.
“Bagi pulau-pulau kami, ini berarti tanpa kerja sama global dan tindakan negara, jutaan ton limbah plastik akan terus dibuang ke lautan kami, memengaruhi ekosistem, ketahanan pangan, mata pencaharian, dan budaya kami,” kata perwakilannya.
Sementara itu, Komisioner UE Jessika Roswall menyebut teks terbaru sebagai kemajuan meski belum ideal, sedangkan delegasi Kolombia, Sebastián Rodríguez, menuding adanya segelintir negara yang terus menghalangi kesepakatan. Delegasi Afrika Selatan menegaskan upaya ini harus terus berlanjut.
3. Usulan perubahan mekanisme dan langkah selanjutnya
Pertemuan yang sedianya menjadi putaran final setelah kegagalan serupa di Busan, Korea Selatan, tahun lalu ini ditutup Valdivieso dengan palu yang terbuat dari tutup botol plastik daur ulang dari tempat pembuangan akhir (TPA) Nairobi. Hingga kini, belum ada tanggal atau lokasi lanjutan, meski sebagian delegasi mendorong putaran ketujuh. Kepala Program Lingkungan PBB, Inger Andersen, mengakui belum tercapainya target akhir, namun menilai ada kemajuan signifikan dalam memperjelas posisi negara-negara.
Kekecewaan terhadap mekanisme konsensus, yang dianggap penting oleh India, Arab Saudi, Iran, Kuwait, dan Vietnam, memicu seruan perubahan.
“Kami berputar-putar. Kami tidak bisa terus melakukan hal yang sama dan mengharapkan hasil yang berbeda,” kata Graham Forbes dari Greenpeace.
Dilansir dari The Guardian, Dennis Clare dari Mikronesia mengusulkan mengecualikan negara-negara petrostates yang menghambat, sambil menaruh harapan pada China yang dinilai memiliki ekonomi lebih beragam dan minat memimpin penyelesaian masalah global.
Direktur dari Center for International Environmental Law, David Azoulay, menyebut kegagalan ini sebagai pukulan bagi multilateralisme dan mendorong proses baru dengan mekanisme voting untuk menghindari kebuntuan berulang.