Organisasi Afrika Selatan Tarik Tentaranya dari RD Kongo

- SADC menarik tentara dari RD Kongo bagian timur sebagai bagian penyelesaian konflik dengan cara diplomatik.
- Pemberontak M23 merebut ibu kota Kivu Utara, Goma, memicu ribuan orang mengungsi dan krisis ekonomi di wilayah tersebut.
- Presiden Zimbabwe menyebut pentingnya dialog untuk menyelesaikan konflik, namun penarikan tentara SADC dianggap sebagai kegagalan strategis.
Jakarta, IDN Times - Southern African Development Community (SADC), pada Jumat (14/3/2025), memutuskan menarik tentara dari Republik Demokratik (RD) Kongo bagian timur. Keputusan ini sebagai bagian penyelesaian konflik di RD Kongo dengan cara diplomatik.
Sejak akhir Februari, pemberontak M23 yang diduga mendapat dukungan dari Rwanda berhasil merebut ibu kota Kivu Utara, Goma. Kondisi itu mengakibatkan ribuan orang terpaksa mengungsi dan memicu krisis ekonomi di wilayah tersebut.
1. Ditarik setelah tewasnya 19 tentara SADC
Presiden Zimbabwe, Emmerson Mnangagwa mengungkapkan pentingnya dialog untuk menyelesaikan konflik di RD Kongo bagian timur. Ia menyebut bahwa pengiriman tentara ke RD Kongo tidak menyelesaikan permasalahan.
Melansir Africa News, penarikan ini didorong tewasnya 19 tentara SADC yang ditempatkan di RD Kongo. Diketahui 14 tentara Afrika Selatan (Afsel) dan 3 tentara Malawi tewas dalam pertempuran antara tentara RD Kongo dan pemberontak M23 pada Januari 2025.
Sementara itu, pemberontak M23 berhasil menguasai kota utama di Kivu Utara, seperti Goma dan Bukavu. Alhasil, sejumlah tentara SADC yang mayoritas berasal dari Afsel terjebak di dalam pangkalan militer.
Sejak Desember 2023, SADC yang dipimpin oleh Afsel sudah mengirimkan sekitar 1.300 tentara penjaga perdamaian ke RD Kongo. Tewasnya tentara Afsel di Kivu Utara sempat memicu tensi antara Afsel dan Rwanda.
2. Kegagalan strategi SADC di RD Kongo
Analis Politik di Kongo, Christian Moleka mengatakan bahwa penarikan tentara SADC di Kongo akan membuat situasi semakin rumit. Ia menyebut langkah ini akan merugikan RD Kongo dan menguntungkan Rwanda.
"Pendekatan ini tidak diinginkan oleh Kinshasa. Meski Kongo terus mendorong sanksi, tapi Rwanda mendapatkan keuntungan lebih dari situasi ini. Namun, strategi ini tidak akan menyelesaikan masalah dan hanya mengurangi tensi jangka pendek. Komunitas internasional harus mengakui siapa agresor dan siapa korban di sini," tuturnya.
Ia menambahkan bahwa penarikan ini adalah kegagalan strategis dari SADC. Sementara, RD Kongo mengharapkan tentara SADC untuk membantu militernya yang mengalami kekurangan peralatan tempur.
Menanggapi ekskalsi tensi, UNHCR mendesak mobilisasi internasional untuk mencegah bencana kemanusiaan di RD Kongo. Pihaknya meminta masuknya bantuan internasional bagi warga sipil yang terdampak perang.
3. Presiden RD Kongo dan M23 setuju berdialog di Angola
Pada Selasa (11/3/2025), Presiden Angola, Joao Lourenco mengumumkan bahwa RD Kongo Felix Tshisekedi bersedia mendiskusikan soal penyelesaian konflik di negaranya.
"Mengikuti langkah yang diambil Angola untuk mendorong mediasi dalam penyelesaian konflik, maka delegasi dari RD Kongo dan M23 akan memulai dialog secara langsung pada 18 Maret di Luanda," terangnya, dikutip France24.
Sebelumnya, Tshisekedi menolak berdialog secara langsung dengan pemberontak M23. Namun, pemimpin M23, Bertrand Bisimwa mendesak Tshisekedi berdialog yang menjadi satu-satunya jalan menyelesaikan krisis di RD Kongo.
Di sisi lain, Rwanda selama ini menolak tuduhan mendukung dan memberi bantuan kepada M23. Namun, pakar dari PBB menemukan bahwa Rwanda sudah mengirimkan sekitar 4 ribu tentara ke RD Kongo untuk mendukung operasi M23.