PBB: 50 Juta Orang pada 2021 Hidup dalam Perbudakan Modern

Jakarta, IDN Times - Jumlah orang yang mengalami perbudakan modern pada 2021 mencapai 50 juta orang, terdiri dari sekitar 28 juta orang mengalami kerja paksa dan 22 juta mengalami pernikahan paksa.
Jumlah itu terungkap dalam sebuah laporan yang dirilis oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada hari Senin (12/9/2022). Laporan merupakan hasil kerja sama dari Organisasi Buruh Internasional (ILO), Organisasi Internasional untuk Migrasi, dan Yayasan Walk Free, sebuah kelompok hak asasi yang berfokus pada perbudakan modern.
1. Jumlah perbudakan modern meningkat sekitar 9,3 juta
Melansir Reuters, ILO menyampaikan bahwa kerja paksa dan pernikahan secara paksa termasuk ke dalam definisi perbudakan modern. Sebab, keduanya melibatkan orang-orang yang tidak dapat menolak karena ancaman, kekerasan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau adanya bentuk-bentuk paksaan lainnya.
Laporan tiga organisasi itu menyampaikan, jumlah orang yang hidup dalam perbudakan modern pada tahun lalu meningkat sekitar 9,3 juta dibandingkan laporan sebelumnya yang dirilis pada 2016.
ILO menjelaskan situasi itu semakin memburuk akibat krisis seperti COVID-19, konflik bersenjata, dan perubahan iklim, yang membuat lebih banyak orang jatuh ke dalam kemiskinan ekstrem dan lebih banyak orang terpaksa harus bermigrasi.
"Saya pikir, pada umumnya, kami hanya mengendurkan upaya kami. Kami telah mengalihkan perhatian kami dari pekerjaan paksa," kata Direktur Jenderal ILO, Guy Ryder.
Ryder menyerukan perbaikan dalam praktik perekrutan dan pengawasan ketenagakerjaan. Dia mengatakan langkah-langkah perdagangan, seperti larangan produk dan impor yang dibuat dari hasil kerja paksa saat ini sedang ditinjau oleh Uni Eropa, yang diharapkan dapat membantu mengurangi praktik kerja paksa.
2. Terjadi jumlah pernikahan paksa pada anak-anak

Melansir Associated Press, laporan itu juga menyampaikan bahwa terjadi peningkatan kasus pernikahan anak secara paksa di negara-negara seperti Afghanistan, Bangladesh, Kongo, Mesir, India, Uganda, dan Yaman.
Lebih dari dua per tiga kasus pernikahan anak diketahui berasal dari kawasan Asia-Pasifik, yang merupakan wilayah terpadat di dunia. Namun, jumlah per kapita tertinggi berasal dari negara-negara Arab di mana hampir 5 dari 1.000 orang menikah secara paksa.
Laporan itu menemukan bahwa negara-negara kaya juga mengalami masalah tersebut. Hampir satu dari empat pernikahan paksa terjadi di negara-negara berpenghasilan tinggi atau menengah ke atas.
Pernikahan paksa disebut terkait erat dengan sikap dan praktik patriarki yang sudah lama ada dalam masyarakat, sementara 85 persen kasus didorong oleh tekanan dari keluarga.
Untuk kerja paksa, sekitar 1 dari 8 dari mereka yang terkena merupakan anak-anak dan setengah dari mereka dieksploitasi untuk menjadi pekerja prostitusi.
3. Tuduhan kerja paksa di Qatar dan China

ILO menemukan, lebih dari setengah dari semua kerja paksa terjadi di negara berpenghasilan menengah ke atas atau negara berpenghasilan tinggi, dengan pekerja migran tiga kali lebih mungkin terkena dampak dari pekerja lokal.
Dalam bagian terpisah, ILO menyampaikan bahwa Qatar telah menghadapi tuduhan pelanggaran hak-hak buruh terkait pekerja migran yang bekerja untuk proyek Piala Dunia pada November tahun ini.
Tuduhan tersebut telah direspons oleh Kepala Eksekutif Qatar 2022, Nasser Al Khater. Dia menyampaikan bahwa tuduhan itu tidak adil dan tidak berdasarkan pada fakta.
ILO juga menyinggung kekhawatiran tentang tuduhan kerja paksa di beberapa bagian China. Sebelumnya, pada 31 Agutus sebuah laporan mengenai kerja paksa di China dirilis oleh kantor hak asasi manusia PBB. Dalam laporan itu, disebut adanya pelanggaran kemanusiaan yang serius terhadap etnis Uighur dan warga beragama Muslim yang ditahan di Xinjiang.
Tuduhan itu telah dibantah oleh China dengan keras dan pada bulan lalu meratifikasi dua konvensi yang menentang kerja paksa.