PBB Desak Peru Kompensasi Korban Sterilisasi Paksa

Jakarta, IDN Times - Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, kebijakan sterilisasi paksa yang diterapkan pemerintah Peru pada 1990-an bisa tergolong sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Kebijakan yang dijalankan di masa kepemimpinan Presiden Alberto Fujimori tersebut dinilai melanggar hak-hak perempuan, khususnya dari komunitas pedesaan dan adat.
Komite PBB mengecam kegagalan pemerintah Peru dalam memberikan perlindungan dan kompensasi kepada para korban sterilisasi paksa. PBB mendesak Peru segera menyediakan program reparasi komprehensif, agar para korban mendapatkan keadilan dan pemulihan atas kerugian yang mereka alami.
1. Negara gagal memberikan perlindungan hak perempuan
Komite PBB telah mengeluarkan rekomendasi setelah memeriksa keluhan dari lima korban yang mengalami sterilisasi paksa pada 1996-1997. Mereka mengklaim bahwa negara gagal memberikan perlindungan serta mengabaikan hak perempuan atas kesehatan dan integritas tubuh mereka sendiri.
“Para korban mengalami dampak fisik dan mental yang parah dan permanen akibat sterilisasi paksa yang mereka alami,” ungkap Leticia Bonifaz, anggota komite PBB.
Bonifaz menambahkan, para perempuan ini seharusnya tidak mengalami pelanggaran hak dasar hanya karena kebijakan negara.
2. Kebijakan sistematis yang dituduhkan pada Pemerintahan Fujimori
Kebijakan sterilisasi paksa merupakan bagian dari program kesehatan reproduksi yang dijalankan oleh Presiden Fujimori selama empat tahun terakhir masa pemerintahannya.
Kebijakan ini diduga ditujukan pada perempuan di wilayah pedesaan dan komunitas adat, yang sering kali dipaksa atau diperdaya untuk menjalani prosedur tanpa persetujuan penuh.
“Banyak perempuan merasa dipaksa atau dipengaruhi dengan janji-janji palsu untuk melakukan sterilisasi di klinik yang tidak memiliki fasilitas atau tenaga profesional yang memadai,” kata Bonifaz, dikutip dari Barron's.
Salah satu kasus yang dijelaskan adalah seorang perempuan dari Pichgas, yang ditangkap di jalan oleh tenaga medis pada Oktober 1996. Perempuan ini tidak pernah menandatangani dokumen persetujuan dan terbangun setelah prosedur dengan diberi tahu bahwa ia telah disembuhkan dari kemungkinan memiliki anak.
3. Klaim pemerintah dan tuntutan kompensasi korban
Pemerintah Peru berargumen bahwa kebijakan sterilisasi ini merupakan bagian dari program kesehatan reproduksi yang lebih luas. Mereka menekankan bahwa prosedur dilakukan pada pria maupun perempuan, meskipun jumlah perempuan yang mengalami sterilisasi paksa jauh lebih banyak, yaitu sekitar 300 ribu perempuan dibandingkan 25 ribu pria.
“Kami mengharapkan adanya reparasi komprehensif untuk para korban, sebagai bentuk tanggung jawab negara atas hak-hak mereka yang telah dilanggar,” kata Bonifaz, menekankan perlunya tindakan nyata dari pemerintah, dilansir dari The Guardian.
Bonifaz juga menyebut pentingnya keadilan bagi perempuan pedesaan dan adat yang paling terdampak oleh kebijakan ini.
Para ahli PBB menyatakan, praktik ini dapat dianggap sebagai kekerasan berbasis gender dan menegaskan bahwa tindakan serupa harus dihindari di masa depan. PBB berharap rekomendasi mereka diambil serius oleh pemerintah Peru, meskipun keputusan ini tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.