Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

PBB: Sudan Hadapi Krisis Kelaparan dan Wabah Kolera

Perang saudara yang meletus pada April 2023 di Sudan, telah mengubah negara tersebut menjadi tempat berkembang biaknya penyakit, kekurangan gizi, dan kesengsaraan. (x.com/WHO Sudan)
Perang saudara yang meletus pada April 2023 di Sudan, telah mengubah negara tersebut menjadi tempat berkembang biaknya penyakit, kekurangan gizi, dan kesengsaraan. (x.com/WHO Sudan)
Intinya sih...
  • Ribuan orang meninggal karena wabah kolera sejak tahun lalu
  • Penyebaran wabah cepat terjadi karena sanitasi buruk dan akses air bersih yang terbatas.
  • Kampanye vaksinasi kolera diluncurkan di Sudan
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) mengatakan kasus kolera meningkat pesat di Sudan di tengah perang yang berkecamuk di negara itu.

"Sudan menghadapi krisis kelaparan terbesar di dunia, sementara kolera merajalela. Kelaparan telah dipastikan terjadi di beberapa wilayah negara ini," kata OCHA dalam sebuah pernyataan di X pada Senin (1/9/2025).

"Kita tidak bisa tinggal diam, rakyat Sudan butuh bantuan," sambungnya, dikutip dari Anadolu Agency.

Dilaporkan, lebih dari 100 ribu infeksi kolera terjadi di Sudan, jumlah tersebut menjadi wabah yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir.

1. Ribuan orang meninggal karena wabah kolera sejak tahun lalu

Menurut Kementerian Kesehatan Sudan, setidaknya 2.561 orang telah meninggal karena kolera sejak wabah tersebut merebak pada Agustus 2024.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan kolera adalah infeksi diare akut yang disebabkan oleh konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi bakteri vibrio cholerae. Penyakit ini berkaitan dengan sanitasi yang buruk dan terbatasnya akses terhadap air bersih. Kecepatan penyebarannya bergantung pada tingkat paparan, kerentanan populasi, dan kondisi lingkungan.

Kolera menyerang anak-anak hingga orang dewasa, dan dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Namun, kolera mudah diobati, dengan sebagian kasus berhasil ditangani melalui pemberian Larutan Rehidrasi Oral (ORS) segera.

2. Kampanye vaksinasi kolera di Sudan

Sebagai bagian dari respon terhadap penyakit kolera, pemerintah Sudan bersama WHO dan UNICEF meluncurkan kampanye vaksinasi pada Februari 2025. (x.com/WHO Sudan)
Sebagai bagian dari respon terhadap penyakit kolera, pemerintah Sudan bersama WHO dan UNICEF meluncurkan kampanye vaksinasi pada Februari 2025. (x.com/WHO Sudan)

Pada bulan lalu, pejabat kesehatan di Sudan telah meluncurkan kampanye vaksinasi kolera selama 10 hari di ibu kota negara itu, Khartoum, dengan menargetkan lebih dari 150 ribu orang.

"Kolera menyebar pada tingkat yang mengkhawatirkan dan sistem kesehatan yang kolaps membuatnya sangat sulit dilacak dan ditanggulangi," kata Sophie Dresser, direktur program di Mercy Corps Sudan, dikutip dari AP News.

PBB mengatakan kasus-kasus meningkat di wilayah Darfur, Sudan barat yang lebih terpencil. Kementerian Kesehatan melaporkan 1.440 kasus suspek dan 74 kematian di sana.

Kampanye vaksinasi telah diluncurkan sejak tahun lalu di beberapa daerah di Sudan, tetapi penyakit ini terus menyebar dalam beberapa bulan terakhir karena perang yang sedang berlangsung.

Kolera juga telah melanda kamp-kamp yang penuh sesak di Tawila, yakni tempat lebih dari setengah juta orang terlantar menghadapi kekurangan air bersih, obat-obatan, dan sanitasi yang ekstrem, Deutsche Welle melaporkan.

3. Perang memperparah wabah kolera di Sudan

Krisis kolera terjadi di tengah perang sengit antara tentara Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter. Perang yang telah berlangsung lebih dari dua tahun tersebut telah menyebarkan kelaparan dan penyakit. Serta, menghancurkan sebagian besar fasilitas kesehatan.

Dalam beberapa pekan terakhir, serangan drone terhadap pembangkit listrik, depot bahan bakar, dan bendungan telah memutus pasokan listrik dan air di Khartoum. Akibatnya, menciptakan kondisi yang memungkinkan penyebaran kolera, demam berdarah, malaria, dan penyakit lainnya.

Menurut laporan PBB dan otoritas setempat, perang tersebut telah menewaskan lebih dari 20 ribu orang dan memaksa 14 juta orang mengungsi sejak April 2023. Namun, penelitian dari universitas-universitas Amerika Serikat memperkirakan jumlah korban tewas sekitar 130 ribu orang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sonya Michaella
EditorSonya Michaella
Follow Us